Sabtu, 20 Desember 2014

Hidung Mancung


Tenang aja Cuplis, jangan minder macam itu.
Tenang aja Cuplis, jangan minder seperti itu, Jarno kali ini akur sama Cuplis. Dia membela kawannya itu.
Aku gak minder, Jarno. Hanya saja gak pede berada diantara mereka di kampus.
Sama aja keleeeesss.
Gubug Baitapat sore itu sepi. Paman Pithak dan Om John sedang menghadiri acara rutin RT di rumah pak RT. Biasa menjelang konsolidasi gerakan masyarakat madani. Apalagi menjelang MUSYDA DIY 2014 yang mana hampir semua uwong sibuk mempersiapkan diri, Kampung Baitapat sibuk konsolidasi juga.
Jadi aku harus gimana ya, Jarno?
Copot aja hidungmu, dan tinggal di rumah kalau kamu ke kampus.
Hust,, saru kamu nih. Mana bisa!!!

Aku Tak Ingin Melukainya



Kenapa lagi kau Cuplis?, sapa Jarno yang melihat Cuplis kebingungan.
Gak kenapa kenapa, Jarno, aku lagi mikir nih, konsentrasi, Cuplis ingat gaya Einstein berpikir maka bergayalah dia seperti beliau.
Mikir apa lah?? Gaya betul kau. Emangnya kamu punya otak?
Wah ngece kau ini.
Loh aku gak ngece, Cuplis!!! Ini fakta.
Fakta apa?, intonasinya naik.
Fakta bahwa tiap hari kamu langganan beli makanan ‘otak-otak’ di pertigaan UNY. Itu menandakan kamu gak punya otak lalu beli ‘otak-otak’ biar kamu jadi punya otak. Dong siki???
Ow hahaha…lah kamu juga langganan kok
Tapi aku kan beli cimol bukan otak-otak wkwkwk.

Kamis, 13 November 2014

Antara Aku, Kau, dan KUA


Dia berjalan lambat, atau aku yang ingin segera sampai melampauinya? Bahkan aku pun tak habis pikir kenapa selalu ada dia. Bahkan diantara aku dan kau. Ada dia diantara kita. Tapi tak mengapa kalau harus ada dia. Yang menjadi mengapa adalah jalannya yang benar-benar sungguh lambat akhir-akhir ini. Apa mungkin karena hiruk-pikuk suara musik instrumental dan kemegahan kehidupan pasca KUA? Justru aku menjadi kembali bertanya, mengapa megah kehidupan itu? Aku memang sengaja tak bertanya pada orang-orang di sekitarku walau aku mampu. Aku yakin mereka pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan nada-nada sumbang yang tak tercerna alam pikirku. Tanpa bertanya, aku bisa mendapat jawaban dari guratan wajah mereka saat menatapku. Dan matanya yang menyorot tumpul-tajam mengindikasikan bahwa kehidupan pasca KUA bukanlah kehidupan tanpa cela. Pun aku tak perlu bertanya pada mereka tentang hal itu. Karena nyatanya, tak satupun orang yang sudi lari dari kehadirannya dalam sejarah kehidupan manusia. Kita. Ya, kita. Tunjukkan padaku orang yang tiada sudi menjalani kehidupan pasca KUA!
Aku dan kau bisa merencanakan dengan siapa hendak melampaui kehidupan itu. Tetapi cinta lebih dari sekedar merencanakan dengan siapa atau kapan membuka pintu kehidupan itu. Cinta tak bisa aku dan kau halangi untuk tercurah pada siapa atau kapan. Dia kembali mengusik ketenangan pikirku. Dia yang berjalan begitu lambat dan tenang. Tetapi justru membuatku gusar bagai sebutir atom yang tertumbuk kemudian pecah betebaran kesegala arah. Aku tak mengerti harus apa dan bagaimana meski pikirku jelas tercurah pada si tercinta. Aku si pecinta.
Bujuk rayu pun hanya sebutir debu dari dunia cinta yang tiada ujung. Seperti mereka yang sudi membutakan mata hati dan pikiran hanya untuk menjaring cinta. Hei, siapa pula kini muncul mereka? Dia saja belum selesai untuk diperbincangkan, sekarang muncul mereka. Kau, tidakkah kau tau bahwa dia dan mereka sungguh-sungguh merasuk dalam alam pikirku.
Dan sungguh, ketika dia dan mereka hadir dalam alam pikirku, namun selalu kau yang jadi ujung kemanjaanku. Benar bahwa merencanakan kehidupan itu adalah kuasa kau dan aku, dan cinta itu adalah kuasa bukan kau dan aku, maka tatkala kau dan aku memiliki dua dimensi itu, seperti dua wajah tokoh wayang yang berkelebat menari-nari dalam rinai cahaya terang.
Aku tertunduk. Merebahkan pena yang sedari tadi tiada henti bekerja membuat rekam sejarah cinta. Istirahatlah. Biarkan bintang gemintang di ufuk sana mengintip ku. Aku bukan orang tiada cela. Boleh mereka mengintipku bahkan bila mereka mau, aku tak sungkan menampakkan duka-luka ku. Aku jadi semakin tertunduk layu mengingat itu. Betapa Dia senantiasa menutup duka-luka ku meski aku masih saja menambah luka-luka-luka lain dalam tubuh ini. Itu menambah degup jantungku semakin menjadi-jadi setiap kali ku simak deretan angka warna-warni mengejekku dari sudut kamarku. Dari hitam ke merah, kemudian menghitam kembali tiada kata permisi.
Tidakkah sekarang kau tau, siapa dia dan mereka yang ada diantara aku dan kau? Dan deretan angka hitam-merah yang hanya bisa diam mencerminkan perjalanan waktu yang lambat. Sementara mereka mengintai dengan tatapan yang tajam dan sunggingan yang nyinyir karena permainan hati kecilku yang tahu duka-luka ku sendiri.
Dia dan mereka berada di antara aku, kau, dan KUA.

Klebengan, BaitAPat
120414/1935

Jumat, 19 September 2014

Only if Only



I am moved. I was not moved. Every time I meet children who still have pure heart, objective sight to problems, and quick acquisition to new knowledge. I am moved toward their optimistic sight every time I ask them, “Child, What would you like to be when you are adult?” often I hear their answer “I would like to be a doctor”. That makes me more moved every time I get the answer from those who are economically poor to fulfill, even their daily needs, educational fees. They must pay their daily need by a flow of sweat they have after working for the whole day. How can they get appropriate school for their dream?
I am moved when I remember that Allah never gives us obstacles without silver lines, disease without medicine, and sadness without happiness. But until today, there is no medicine, at least,  for HIV/AIDS, Cancer, Diabetes, and heart attack. Those who suffer those diseases must feel the pain for the whole of their life. No exception. So far, we just know how to abate them and prevent from them. But no medicine for them.
I am more and more moved when I imagine that if the medicine of those diseases is prepared by Allah through those poor children who have high ambition but there is no money for gaining higher education to reach their dream. How cruel we are, Allah. You give us many many many fortunes in sufficiency of money, good-looking, and other abilities to do. But our eyes are still closed to help other people who do not have these fortunes. We beg your apologizes.

Hanya (Mungkin) Pada Mereka
Aku terharu. Dulu tidak sama sekali. Setiap kali aku bertemu anak-anak kecil, dengan hati yang masih jernih, tatapan yang masih objektif terhadap masalah, dan cepatnya pola pikir dalam menangkap pengetahuan baru. Aku terharu pada tatapan mata mereka yang optimis setiap kali aku bertanya, “Dek, besok kalau sudah besar, punya cita-cita apa?” tak jarang ku dengar jawaban mereka “Aku ingin jadi dokter”. Itu makin membuat ku terharu tiap kali ku dapati bahwa jawaban-jawaban itu ada pada diri anak-anak kurang mampu yang bahkan untuk makan sehari-hari pun mereka harus membayar dengan kucuran keringat sehari-semalam, bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Bagaimana mereka bisa bersekolah untuk mencapai cita-cita mereka kalau demikian?
Aku terharu ketika mengingat bahwa Allah tak akan pernah memberikan cobaan tanpa solusi, sakit tanpa obat, dan duka tanpa suka. Allah selalu memberikan semua itu berpasang-pasangan seperti siang dan malam, laki dan perempuan, naik dan turun, dan sebagainya. Ya, hingga detik ini, para cendekia belum menemukan obat untuk HIV/AIDS, Kanker, Diabetes, Darah Tinggi, dan berbagai penyakit lain. Dan mereka yang mengidap penyakit-penyakit itu, haruslah menanggung duka sepanjang hidupnya. Sampai detik ini belum ada penemuan untuk mengatasinya. Hanya beberapa penemuan yang telah dipastikan ada: yakni untuk mencegah dan mengurangi. Tetapi, tetap, mereka harus mananggung sakit itu sepanjang hayat.
Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak miskin yang bercita-cita menjadi dokter? Aku pun terharu bahwa mereka sebagian besar tidak mampu untuk mencapai pendidikan tinggi hingga dokter. Atau memilih untuk memasuki dunia akademik lain yang sesuai kebutuhan mereka. Tetapi yang pertama yang lebih banyak. Itu yang kutemui. Aku berpikir, Tuhan, apakah obat yang Kau sediakan untuk penyakit-penyakit itu ada pada anak-anak miskin yang tak mampu melanjutkan pendidikan mereka? Betapa kejam kami yang mampu dan berkecukupan tetapi enggan membantu pendidikan mereka. Bagaimana jika penemuan-penemuan besar untuk peradaban justru ada pada mereka? Ampuni kami makhluk-makhlukMu yang serakah atas nikmat duniawi, Allah.

BaitApat
19092014/2021

Minggu, 31 Agustus 2014

Agustus



Agustus segera berlalu. Kemudian berganti pada September dan please 'wake me up when September ends'. Begitu cepat ku rasa bulan ini berlalu. Barangkali ada sejuta asa dan langkah-langkah baru yang membuat bulan Agustus 2014 ini berbeda. Hal hal baru yang membuat suka dan duka beradu dalam peraduan jiwa. Esok kan datang bersama gegap gempita malam yang berbaris rapi menghadapi pagi. begini:
Keberhasilan tak selamanya membut semua orang bahagia. Tidak. Keberhasilan yang aku maksud adalah capaian-capaian positif dan kemenangan. Memang sudah menjadi fitrahnya bahwa kemenangan membawa suka dan duka beradu. Seperti yang ku rasa di bulan Agustus ini. Ramadhan tahun ini dan Syawal adalah milestone untuk perjalanan pencapaianku. Tepat selepas Syawal, kepastianku berangkat menuju Korea aku dapatkan untuk mewakili Indonesia dalah rekonsiliasi sejarah di Asia Timur pada khususnya. Tidak lama setelah pengumuman itu, pengumuman lain dari Kemlu RI aku dapatkan untuk berangkat ke Bali pada acara UNAOC ke-6. Hanya berselang tiga hari sepulangku dari Korea, aku harus ke Bali.

Dan yang lebih penting dari itu semua adalah tanggal 24 Agustus 2014 (24-08-2014), yakni disela-sela dua agenda internasional itu, ku khitbah wanitaku sebagai wujud tanggungjawabku. Ya, ini komitmenku padanya dan kewajibanku atas segenap nikmat-nikmatNya. Tak ada niatan buruk atau neko-neko. Hanya ingin aku meneladani MUhammad SAW atas ridhoNya, mendapatkan ridhoNya, dan mewariskan generasi muslim yang lebih kuat atas ridhoNya. Alhamdulillah semua lancar. 

Meski begitu, tidak semua orang di sekitarku merasa kebahagiaan itu adalah milik mereka. Padahal telah ku niatkan bahwa segenap capaianku adalah pemberianku untuk keluarga dan persembahanku untuk Allah SWT. Tampaknya cara pandang tiap tiap manusia berbeda. Sungguh aku tak mampu menguasai sejengkalpun akal manusia lain secarca konsisten. Engkau yang lebih berkuasa, Allah. 

Maka semoga, Kau sudi mengabarkan kepada mereka apa yang aku pikirkan. Tidak ada niatan untuk saling menjatuhkan, mengalahkan, menjelekan, atau hal buruk lain. Kalaupun hendak ber-fastabiqul khairat, lets do that fairly. 

Dan tidak hanya hadir dari orang lain. Dari dalam diri ku sendiri pun masih menyisakan duka. Pandanganku tentang foreigner masih menancap tajam. Dan orang orang kita yang terpengaruh oleh budaya luar tanpa adaptasi. Semalam, dalam kelengahanku dan lelahku bersepeda, mereka bawa aku ketempat yang tak pernah aku kunjungi, bar! Waiters langsung saja menyuguhkan secangkir minuman yang aku kira itu adalah jus buah. tetapi ternyata alkohol. Sempat aku meneguknya sekali. Dan sedikit ku muntahkan (Semoga Kau ampuni kobodohanku ini Allah). Rasanya sangat menusuk di lidah.

Malam sebelumnya, pesta dansa dan dugem hingga larut malam. meneguk botol botol air yang tak pernah sejengkalpun aku menyentuhnya. Mereka bilang, itu adalah kenikmatan. Tetapi aku bilang itu adalah keburukan. ini pertama kalinya aku mengenal dan menyimak secara langsung yang disebut dugem. Dan aku bersyukur, tak sedetikpun dalam hari hariku sebelumnya untuk mengikuti hal itu. Pun saat ini, aku hanya menyimak. 

Sobatku, foreigners, kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam rekonsiliasi.

Ajar Sagobi
Nusa Dua Bali, dalam penantian Garuda menuju Jogja

Rabu, 27 Agustus 2014

Matahari Pagi, Proklamasi!!!



Esok adalah 17 Agustus. Dan hari ini adalah keberangkatanku ke Korea untuk sebuah acara Youth Conference. Malam hari, tepat sehari sebelum hari itu. Itu berarti sesampainya di Korea, waktu akan menunjukkan pukul 07.05 pagi 17 Agustus 2014. Aku akan masih berada di dalam pesawat dengan ketinggian tertentu ketika matahari pagi menyapa di tanggal 17 Agustus. Itu hari ulang tahunku, kita, kami, mereka, dan semua anak bangsa Indonesia. Indonesia Merdeka, 69 tahun telah berlalu. Aku tak sabar menanti saat itu. Meski tak mampu aku mengibarkan sang saka merah putih dalam fisikku, tetapi di batinku, di sini di dada kiriku, akan tetap berkibar sang saka Merah Putih. Menyelimuti angkasa jiwaku. Memayungi seluruh degup jantungku. Dan menyapa dunia bahwa kami bangsa berdaulat.
Ku pasang headset untuk menyembunyikan kedua telingaku dan menulikan dunia sekitarku. Aku sedang tak ingin mendengar hiruk-pikuk gemericik dunia. PEMILU telah usai. Sebelum dan selama momen itu berlangsung, tak henti ku dengar gelak tawa, sumpah serapah, cibiran, hinaan, dan entah apalagi, aku tak mampu mendefinsikan. Kali ini aku ingin benar-benar sendiri, dengan hati dan pikiranku sendiri. Esok matahari pagi kan ku sapa dengan wajah penuh semangat, dengan mata yang lebih lama menatap, dengan telinga yang sudi mendengar, dengan cita-cita yang lebih tertata. Untuk Indonesia Matahari Pagi, Proklamasi.
Matahari. Matahari. Matahari. Bagi sebagian orang, matahari adalah dewa, tuhan, atau sesembahan yang dianggap kuat. Itu tak lepas karena keberadaannya yang dominan di jagad raya. Dia selalu hadir dalam hiruk pikuk kesibukan dunia, menatap tingkah polah manusia-manusia dunia. Dia dianggap mampu melindungi karena kekuatannya. Tetapi bagiku, matahari adalah nafas perjuanganku, jalan yang mengarahkanku menuju kebahagiaan abadi, dan cita-cita dunia-akhiratku. Merah yang terpancar dari balik cahayanya yang terang benderang menyinari dan mengusir gelap, hitam kelam wajah kehidupan. Memberi terang, menuntun, dan mencerahkan peradaban. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)  adalah cahaya di atas cahaya gemerlap itu, di sana, di ufuk timur.
Pagi. Pagi. Pagi. Selamat pagi. Bukan itu yang hendak aku sampaikan. Pagi adalah awal kehidupan. Awal kehidupan manusia adalah kelahiran. Kelahiran merupakan simbol generasi muda. Dan generasi mudalah yang mampu menciptakan kehidupan untuk masa yang akan datang. Dan generasi mudalah yang lahir dari rahim IMM dan berjuang bersama matahari. Kau akan temukan kami berbeda suku, adat, dan budaya tetapi tatkala kau iris lengan kanan kami kau akan temukan darah kami merah, penuh semangat perjuangan. Tak lekang tangan kami mengepal. Tak urung tangan kami menuntun. Tak acuh tangan menyapa untuk Indonesia Raya. Dalam dada kami gelora, dalam nafas kami semangat, dalam langkah kami kreatifitas, dan dalam tatapan kami kejayaan, Indonesia Raya!
Proklamasi. Proklamasi. Proklamasi. Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia, hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bung, tak pernah kami mencium bau keringat perjuanganmu, tak pernah kami menyentuh kulit keras perjuanganmu tetapi lantang suaramu menggelegar dalam relung sanubari kami. Cita-cita mu untuk Indonesia Raya terpatri dalam benak kami. Bung, tidakkah kini kau berbangga hati? Bahwa pemuda-pemuda yang kau idamkan untuk mengguncang dunia lahir dari rahim ibu pertiwi dengan merah darah yang menyelimuti. Bung, tidakkah kau menyengaja untuk memproklamirkan kedaulatan bangsa ini di pagi hari, di pagi saat burung bergegas pergi mencari makan, di pagi saat gelap ta lagi kentara, di pagi saat pemuda-pemudi bangsa mulai bergegas membangun kehidupan. Bung, dan tidakkah kau kini tahu bahwa tak sedikit pemuda bangsa ini yang memiliki prestasi membanggakan di negara-negara dunia. Itu sebagai wujud rasa syukur kami atas kemerdekaan yang telah diupayakan. Bung, izinkan kami menatapmu walau sejenak untuk berterimakasih atas segenap pengorbanan yang tercurah.
Dari titik ini, aku melangkahkan kaki menyapa dunia luas, dan mengabarkan kepada dunia bahwa anak Indonesia mampu menatap kemegahan dunia dan menaklukkannya.

Ajar Sagobi
Seoul, Korea Selatan

17 Agustus 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Flying Without Wings


by Arini Sabrina

Some years ago, there was such an amazing part of my life story because I could fly with my own struggle. To be honest, I had never taken a trip using an airplane. So, when I entered university for the first time in Yogyakarta, I attached that dream into my heart and my prayers, hoping that flying would come into reality soon. Instead of daydreaming every day, I passed the days by trying to get much knowledge from the lectures and joining university choir, since I love singing very much. From the choir, I got good news that there was a national university student festival which is conducted every two years, and one of the contests was pop singing. The point that made me enthusiastic was the festival would be in Pontianak next two years. I thought to myself that the festival might be the door to fly. I was really interested and after that I prepared myself to welcome the moment.

As time went by, I finally knew that there was an audition for the festival in my university. Therefore, I immediately joined the activity. I sang with my own style, trying to sing from heart, since I knew that singing is an activity of sending messages from the heart, not from the mind. Although I was not confident, really not confident, but I tried my best, as far as I could. At the end of the audition, the first miracle came. The judges announced that I was the winner and had a right to join the contest on the province level. Alhamdulillah, my dream was closer. But, again, I had to prepare for the most deciding moment to get the golden ticket to Pontianak. To get ready, I had many exercises with a lecturer from the musical art department.

My struggle was not dissatisfying. In the end, I could win the singing contest, representing Yogyakarta province and getting the free flight ticket! Those were the next miracles from God. I thanked Allah, I also thanked many people who helped me much, so that I could see my dream come true.

That was my own precious little dream story. Perhaps, even though my dream is not so interesting for some people, but I believe that a little dream which comes into reality with struggle will take me to other bigger dreams.

Senin, 25 Agustus 2014

senyumnya menjawab semua

Aku berharap, pagi ini hendak berjumpa dengan mentari pagi, di tempat yang agak tinggi agar aku jelas menapaki tiap ronanya. Aku parkir sepeda motorku di halaman sebuah gedung tingkat berlantai-lantai (pokoknya berlantai2,,biar keliatan tinggi gitu). Lambaian dedaunan hijau kecoklatan menghiasi pelupuk mataku tatkala aku menatap lurus jalan yang ku lewati. Tak henti ku tarik nafas dalam-dalam menghirup habis kesegaran udara pagi.Dari tempat aku berdiri, ku tatap sekeliling ruang-ruang berisikan tetumbuhan hijau yang menemani bangunan tinggi berkonstruksi kelas wahid. Aku toleh ke kiri, hamparan rumput hijau dan dua buah gawang duduk manis dalam sepetak lapangan bola. Dalam sisi yang berlawanan, beberapa tiang penyangga gedung sebuah fakultas di sebuah universitas ternama kokoh tiada banding. Heran, sepagi ini, banyak orang hilir mudik di tempat ini. Biasanya tidak. Mereka rapi berbusana, dan telah merias diri nampaknya. Mungkin ada acara.Ku lenturkan otot-otot kakiku untuk ku bisa nyaman berlari. Beberapa hari yang lalu, hanya bisa terkapar di atas ranjang dengan balutan kain di lutut kiriku. Ototku tertarik saat bermain futsal. Niatku, agar pagi ini bisa kembali seperti sediakala sekaligus menghangatkan badan dalam pelukan mentari. Mendung, langit kelabu dan awan-awan murung.Dari sudut yang jauh, aku melihat dia berdiri. Ku picingkan mataku untuk memastikan, itu adalah benar dia. Bercelana hijau, berjaket kelabu; sama seperti awan-awan ini. Mataku liar untuk mencari jalan masuknya menuju ke tempat dia sekarang berada. Ku lambaikan tanganku untuk menyapanya tanpa suara dan menunjuk sebuah lubang kecil di bawahku, seolah bertanya apa ini jalan masuknya. Dia mengagguk.Anak-anak tangga telah merelakan tubuh-tubuhnya untuk ku injak-injak. Tak seperti ibunya yang hanya mau dielus saja. Ah, barangkali seperti ini pula wajah para tokoh bangsa ini. Mereka rela memberikan tubuh-tubuh rakyat kecil untuk diinjak-injak demi kesenangan mereka. Satu, dua, tiga, dan lelah aku menghitungnya. Entah berapa anak yang telah aku injak demi untuk sampai kepadanya. Biarkan saja. Aku tak pangling padanya, masih sama seperti beberapa bulan yang lalu meski selama itu pula, banyak cerita haru yang dia bagi. Kalau aku, mungkin telah menjadi kurus karenanya. Hanya saja, ku lihat ada sebiji jerawat segar di pipinya sebelah kanan. Hemm… masa lalu yang tertinggalkan bagiku.Baru kemarin dia tiba di Yogyakarta, jam 5 sore. Wajahnya masih letih, guratan peta-peta kota asalnya masih membekas di bawah matanya dan sekitar bibirnya. Bisa jadi ini efek dari absen mandi pagi ini. Bisa jadi. Matanya tak cerah. Lagi-lagi seperti pagi ini yang mendung. Bahkan mentari tak juga terlihat kehadirannya dari atas sini pada saat yang seharusnya nampak. Tetapi senyumnya masih lebar. Pertanda hatinya tengah bahagia. Baguslah, pikirku. Dia lepaskan headset-nya dan menyerahkan padaku untuk ku bisa mendengar lagu baru yang aku tuliskan. Beberapa waktu lalu, tatkala aku berada di Semin, aku susun lirik lagu itu dalam alunan musik ber-genre rock. Terinspirasi dari kejadian-kejadian yang ku dengar tentang saat yang dinanti untuk hadir; berprestasi. Dan jelas itu tak kan datang berulang kali. Sambil ku dengar lagu Ipang yang judulnya aku lupa: “Kalau saja aku masih punya kesempatan yang sama/atau semua yang pernah terjadi bisa terulang lagi/ tapi ternyata kesempatan yang ada/ hanya sekali…”Aku tak mengerti itu lagu apa jenisnya. Dia bilang, Jazz! Simpul senyumku hadir. Sambil ku pejamkan mata menikmati iramanya, aku berpikir, kok bisa jadi jazz ya? padahal aroma musiknya adalah rock. Mungkin aku yang belum mahir merangkai nuansa rock. Tetapi yang jelas, dia memoles tulisanku menjadi bernuansa jazz. Menarik!Mentari belum juga beranjak. Sembari itu, mulutku tak henti berkomat-kamit mengisi ruang-ruang telinga yang makin sesak kata-kata. Dia menguap. Aku?? Sebenarnya iya, tapi aku tahan.Kenangan-kenangan masa lalu tatkala duduk di bangku JunHigh dan SenHigh menyedapkan hati. Gelak tawa yang terkurung lesu dalam murungnya pagi, kini bebas. Sebebas burung-burung kecil yang hilir mudik beterbangan di atas rumput hijau lapangan sepak bola. Suka-suka mereka hendak kemana. Hingga sekumpulan awak drum band berbaris a la tentara mengadakan upacara: sigap dan disiplin. Berbaris berjajar tiga terbagi menjadi empat kelompok saling berhadapan membentuk segi empat. Warna-warni pakaiannya menghiasi dominasi hijau dalam mataku.Waktu menyeret ku dan dia dalam lamunan. Sejenak, ku hirup nafas panjang dan berucap selamat jalan, terimakasih telah temaniku pagi ini sambil menunggu mentari hadir menyapa bumi. Senyumnya menjawab semuanya.

BaitApat, Yogya
Sept 19th, 2010
pagi yang murung