Selasa, 22 Desember 2015

Kalau Kamu Baca Status ini, Kamu Pengen Ngapain?


Kalau aku, pengen ngajak yang nulis status ini berantem!, jawab Cuplis.
Wuih, agresif lu Plis, respon Jarno melihat ekspresi Cuplis yang menggebu-gebu.
Emangnya aku ayam jago?
Miriplah dikit kalau tampak samping.
Maksud lu?
Ya, mirip dikit. Kan ayam jago gak ada yang banci. Lu kan agak banci. Kalau ada ayam jago yang agak banci, nah itu bisa mirip banget ma lu, Plis!
Juancuuuk!
Hahahaha… ra sah sok jantan ngunu ta!

Senin, 21 Desember 2015

Tatkala Semesta di Bawah Kaki Kita


Ingatkah kau, Jarno tatkala dulu kau masih duduk di bangku SMP?, tanya Om John.
Apa yang harus aku ingat Om?
Apa pun yang kau masih ingat.
Tidak ada yang musti diingat.
Cobalah, apa yang pernah kau lakukan dulu sehingga kau seperti sekarang ini.
Aku hanya ingat, dulu aku introvert.
Kemudian?
Aku sulit bergaul, hanya memiliki sedikit teman-teman sebaya, yang selalu bersama-sama ketika berangkat sekolah mengendarai sepeda, berkebut-kebutan di tegalan sawah, mampir di warung es ketan ireng sebelah kamar mayat setiap kali pulang sekolah, jatuh terserempet di perempatan Tugu Lawet kemudian disorakin oleh teman-teman dengan sebutan ‘goyang dombret’, selalu dihukum mengelilingi alun-alun kota tiap kali pelajaran olah raga karena tidak hafal gerakan-gerakan senam semi-militer, kemudian malah makan di warung angkringan, hemmm,,, apa lagi Om? Dan untuk apa ini semua? Aku tak paham.
Nah, kau ingat perlahan. Yang lain, yang lain, tentang pendidikanmu dan ujian nasionalmu dulu.

Rabu, 16 Desember 2015

Lapak Si Bunga, Bunga


Dalam perjalanan menuju ke sana, tampak sepasang bunga Amarilys tumbuh menyepi di tepi trotoar jalan. Mungkin mereka sedang berduka. Beberapa saat yang lalu di awal musim penghujan, mereka mendengar kabar berita tentang saudara mereka di dataran tinggi sana. Miris. Umur mereka tak panjang dan belum menyumbang ide apa-apa untuk keindahan alam sekitar. Sementara mereka pun terjebak pada situasi yang memaksa mereka hanya meratap duka.

Ancuk tenan ya, Jarno, ujar Cuplis.

Kamu misuh dan aku yang jadi sasarannya?, sahut Jarno.

Bukan, bukan kamu tapi kamu iya kamu, Cuplis nunjuk sesuatu yang absurd.

Eh lihat, Plis! Ini kan bunga yang heboh di Facebook itu tho. Yang tumbuh subur di Gunungkidul tapi terus musnah oleh para manusia.

Iya. Tumben otakmu punya ingatan yang baik.

Iya dong. Kalau tentang uang dan bunga, ingatanku tokcer!

Rabu, 02 Desember 2015

Aku Benarbenar Ingin Meminjam Mata Batinmu


Masih khusuk aku memandang sebait kata-kata dari orang tak aku kenal:
Sepasang tangan yang mengajakmu berdiri kala terjatuh lebih harus kau percayai daripada seribu pasang tangan yang menyambutmu kala kau ada di puncak kesuksesan
Lalu aku teringat pada orang tuaku, terutama ibuku. Dari latar belakang keluarga ibuku, pendidikan bukanlah hal utama dalam hidup. Tak seorang pun dari saudara ibu yang sempat mengenyam bangku kuliah. Semua dari mereka hanyalah tamatan SMA atau sederajat. Begitu juga ibu. Selepas lulus SMK, ibu langsung menikah dengan gurunya.

Berebda dengan keluarga bapakku. Pendidikan merupakan kemewahan dalam hidup. Mereka memiliki filosofi bahwa pendidikanlah yang akan mengangkat derajat hidup mereka. Maka, hampir seluruh keluarga besar bapakku adalah seorang sarjana, minimal. Ada beberapa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Termasuk aku.

Selasa, 01 Desember 2015

Hari Ini, Setahun Yang Lalu


Aku beranikan diri datang menjemputmu. Diiringi doa dan puja-puji kepada sang Pencipta, aku jabat tangan orang tuamu. Ku dengarkan dengan seksama tiap kata yang terucap dari mulutnya. Pelan namun dalam. Hingga tiba saatnya ia memberikan isyarat, aku menjawabnya dengan sekali hembusan nafas.

Aku tak merasakan apa pun. Seketika dadaku lapang. Batinku hening. Tatapan mataku seolah enggan menyapaku sendiri. Sekajap. Hingga sahutan serempak orang-orang di sekitarku mengucapkan kata yang sama. Syah! Alhamdulillah.

Menangis? Tidak.