Minggu, 31 Agustus 2014

Agustus



Agustus segera berlalu. Kemudian berganti pada September dan please 'wake me up when September ends'. Begitu cepat ku rasa bulan ini berlalu. Barangkali ada sejuta asa dan langkah-langkah baru yang membuat bulan Agustus 2014 ini berbeda. Hal hal baru yang membuat suka dan duka beradu dalam peraduan jiwa. Esok kan datang bersama gegap gempita malam yang berbaris rapi menghadapi pagi. begini:
Keberhasilan tak selamanya membut semua orang bahagia. Tidak. Keberhasilan yang aku maksud adalah capaian-capaian positif dan kemenangan. Memang sudah menjadi fitrahnya bahwa kemenangan membawa suka dan duka beradu. Seperti yang ku rasa di bulan Agustus ini. Ramadhan tahun ini dan Syawal adalah milestone untuk perjalanan pencapaianku. Tepat selepas Syawal, kepastianku berangkat menuju Korea aku dapatkan untuk mewakili Indonesia dalah rekonsiliasi sejarah di Asia Timur pada khususnya. Tidak lama setelah pengumuman itu, pengumuman lain dari Kemlu RI aku dapatkan untuk berangkat ke Bali pada acara UNAOC ke-6. Hanya berselang tiga hari sepulangku dari Korea, aku harus ke Bali.

Dan yang lebih penting dari itu semua adalah tanggal 24 Agustus 2014 (24-08-2014), yakni disela-sela dua agenda internasional itu, ku khitbah wanitaku sebagai wujud tanggungjawabku. Ya, ini komitmenku padanya dan kewajibanku atas segenap nikmat-nikmatNya. Tak ada niatan buruk atau neko-neko. Hanya ingin aku meneladani MUhammad SAW atas ridhoNya, mendapatkan ridhoNya, dan mewariskan generasi muslim yang lebih kuat atas ridhoNya. Alhamdulillah semua lancar. 

Meski begitu, tidak semua orang di sekitarku merasa kebahagiaan itu adalah milik mereka. Padahal telah ku niatkan bahwa segenap capaianku adalah pemberianku untuk keluarga dan persembahanku untuk Allah SWT. Tampaknya cara pandang tiap tiap manusia berbeda. Sungguh aku tak mampu menguasai sejengkalpun akal manusia lain secarca konsisten. Engkau yang lebih berkuasa, Allah. 

Maka semoga, Kau sudi mengabarkan kepada mereka apa yang aku pikirkan. Tidak ada niatan untuk saling menjatuhkan, mengalahkan, menjelekan, atau hal buruk lain. Kalaupun hendak ber-fastabiqul khairat, lets do that fairly. 

Dan tidak hanya hadir dari orang lain. Dari dalam diri ku sendiri pun masih menyisakan duka. Pandanganku tentang foreigner masih menancap tajam. Dan orang orang kita yang terpengaruh oleh budaya luar tanpa adaptasi. Semalam, dalam kelengahanku dan lelahku bersepeda, mereka bawa aku ketempat yang tak pernah aku kunjungi, bar! Waiters langsung saja menyuguhkan secangkir minuman yang aku kira itu adalah jus buah. tetapi ternyata alkohol. Sempat aku meneguknya sekali. Dan sedikit ku muntahkan (Semoga Kau ampuni kobodohanku ini Allah). Rasanya sangat menusuk di lidah.

Malam sebelumnya, pesta dansa dan dugem hingga larut malam. meneguk botol botol air yang tak pernah sejengkalpun aku menyentuhnya. Mereka bilang, itu adalah kenikmatan. Tetapi aku bilang itu adalah keburukan. ini pertama kalinya aku mengenal dan menyimak secara langsung yang disebut dugem. Dan aku bersyukur, tak sedetikpun dalam hari hariku sebelumnya untuk mengikuti hal itu. Pun saat ini, aku hanya menyimak. 

Sobatku, foreigners, kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam rekonsiliasi.

Ajar Sagobi
Nusa Dua Bali, dalam penantian Garuda menuju Jogja

Rabu, 27 Agustus 2014

Matahari Pagi, Proklamasi!!!



Esok adalah 17 Agustus. Dan hari ini adalah keberangkatanku ke Korea untuk sebuah acara Youth Conference. Malam hari, tepat sehari sebelum hari itu. Itu berarti sesampainya di Korea, waktu akan menunjukkan pukul 07.05 pagi 17 Agustus 2014. Aku akan masih berada di dalam pesawat dengan ketinggian tertentu ketika matahari pagi menyapa di tanggal 17 Agustus. Itu hari ulang tahunku, kita, kami, mereka, dan semua anak bangsa Indonesia. Indonesia Merdeka, 69 tahun telah berlalu. Aku tak sabar menanti saat itu. Meski tak mampu aku mengibarkan sang saka merah putih dalam fisikku, tetapi di batinku, di sini di dada kiriku, akan tetap berkibar sang saka Merah Putih. Menyelimuti angkasa jiwaku. Memayungi seluruh degup jantungku. Dan menyapa dunia bahwa kami bangsa berdaulat.
Ku pasang headset untuk menyembunyikan kedua telingaku dan menulikan dunia sekitarku. Aku sedang tak ingin mendengar hiruk-pikuk gemericik dunia. PEMILU telah usai. Sebelum dan selama momen itu berlangsung, tak henti ku dengar gelak tawa, sumpah serapah, cibiran, hinaan, dan entah apalagi, aku tak mampu mendefinsikan. Kali ini aku ingin benar-benar sendiri, dengan hati dan pikiranku sendiri. Esok matahari pagi kan ku sapa dengan wajah penuh semangat, dengan mata yang lebih lama menatap, dengan telinga yang sudi mendengar, dengan cita-cita yang lebih tertata. Untuk Indonesia Matahari Pagi, Proklamasi.
Matahari. Matahari. Matahari. Bagi sebagian orang, matahari adalah dewa, tuhan, atau sesembahan yang dianggap kuat. Itu tak lepas karena keberadaannya yang dominan di jagad raya. Dia selalu hadir dalam hiruk pikuk kesibukan dunia, menatap tingkah polah manusia-manusia dunia. Dia dianggap mampu melindungi karena kekuatannya. Tetapi bagiku, matahari adalah nafas perjuanganku, jalan yang mengarahkanku menuju kebahagiaan abadi, dan cita-cita dunia-akhiratku. Merah yang terpancar dari balik cahayanya yang terang benderang menyinari dan mengusir gelap, hitam kelam wajah kehidupan. Memberi terang, menuntun, dan mencerahkan peradaban. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)  adalah cahaya di atas cahaya gemerlap itu, di sana, di ufuk timur.
Pagi. Pagi. Pagi. Selamat pagi. Bukan itu yang hendak aku sampaikan. Pagi adalah awal kehidupan. Awal kehidupan manusia adalah kelahiran. Kelahiran merupakan simbol generasi muda. Dan generasi mudalah yang mampu menciptakan kehidupan untuk masa yang akan datang. Dan generasi mudalah yang lahir dari rahim IMM dan berjuang bersama matahari. Kau akan temukan kami berbeda suku, adat, dan budaya tetapi tatkala kau iris lengan kanan kami kau akan temukan darah kami merah, penuh semangat perjuangan. Tak lekang tangan kami mengepal. Tak urung tangan kami menuntun. Tak acuh tangan menyapa untuk Indonesia Raya. Dalam dada kami gelora, dalam nafas kami semangat, dalam langkah kami kreatifitas, dan dalam tatapan kami kejayaan, Indonesia Raya!
Proklamasi. Proklamasi. Proklamasi. Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia, hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bung, tak pernah kami mencium bau keringat perjuanganmu, tak pernah kami menyentuh kulit keras perjuanganmu tetapi lantang suaramu menggelegar dalam relung sanubari kami. Cita-cita mu untuk Indonesia Raya terpatri dalam benak kami. Bung, tidakkah kini kau berbangga hati? Bahwa pemuda-pemuda yang kau idamkan untuk mengguncang dunia lahir dari rahim ibu pertiwi dengan merah darah yang menyelimuti. Bung, tidakkah kau menyengaja untuk memproklamirkan kedaulatan bangsa ini di pagi hari, di pagi saat burung bergegas pergi mencari makan, di pagi saat gelap ta lagi kentara, di pagi saat pemuda-pemudi bangsa mulai bergegas membangun kehidupan. Bung, dan tidakkah kau kini tahu bahwa tak sedikit pemuda bangsa ini yang memiliki prestasi membanggakan di negara-negara dunia. Itu sebagai wujud rasa syukur kami atas kemerdekaan yang telah diupayakan. Bung, izinkan kami menatapmu walau sejenak untuk berterimakasih atas segenap pengorbanan yang tercurah.
Dari titik ini, aku melangkahkan kaki menyapa dunia luas, dan mengabarkan kepada dunia bahwa anak Indonesia mampu menatap kemegahan dunia dan menaklukkannya.

Ajar Sagobi
Seoul, Korea Selatan

17 Agustus 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Flying Without Wings


by Arini Sabrina

Some years ago, there was such an amazing part of my life story because I could fly with my own struggle. To be honest, I had never taken a trip using an airplane. So, when I entered university for the first time in Yogyakarta, I attached that dream into my heart and my prayers, hoping that flying would come into reality soon. Instead of daydreaming every day, I passed the days by trying to get much knowledge from the lectures and joining university choir, since I love singing very much. From the choir, I got good news that there was a national university student festival which is conducted every two years, and one of the contests was pop singing. The point that made me enthusiastic was the festival would be in Pontianak next two years. I thought to myself that the festival might be the door to fly. I was really interested and after that I prepared myself to welcome the moment.

As time went by, I finally knew that there was an audition for the festival in my university. Therefore, I immediately joined the activity. I sang with my own style, trying to sing from heart, since I knew that singing is an activity of sending messages from the heart, not from the mind. Although I was not confident, really not confident, but I tried my best, as far as I could. At the end of the audition, the first miracle came. The judges announced that I was the winner and had a right to join the contest on the province level. Alhamdulillah, my dream was closer. But, again, I had to prepare for the most deciding moment to get the golden ticket to Pontianak. To get ready, I had many exercises with a lecturer from the musical art department.

My struggle was not dissatisfying. In the end, I could win the singing contest, representing Yogyakarta province and getting the free flight ticket! Those were the next miracles from God. I thanked Allah, I also thanked many people who helped me much, so that I could see my dream come true.

That was my own precious little dream story. Perhaps, even though my dream is not so interesting for some people, but I believe that a little dream which comes into reality with struggle will take me to other bigger dreams.

Senin, 25 Agustus 2014

senyumnya menjawab semua

Aku berharap, pagi ini hendak berjumpa dengan mentari pagi, di tempat yang agak tinggi agar aku jelas menapaki tiap ronanya. Aku parkir sepeda motorku di halaman sebuah gedung tingkat berlantai-lantai (pokoknya berlantai2,,biar keliatan tinggi gitu). Lambaian dedaunan hijau kecoklatan menghiasi pelupuk mataku tatkala aku menatap lurus jalan yang ku lewati. Tak henti ku tarik nafas dalam-dalam menghirup habis kesegaran udara pagi.Dari tempat aku berdiri, ku tatap sekeliling ruang-ruang berisikan tetumbuhan hijau yang menemani bangunan tinggi berkonstruksi kelas wahid. Aku toleh ke kiri, hamparan rumput hijau dan dua buah gawang duduk manis dalam sepetak lapangan bola. Dalam sisi yang berlawanan, beberapa tiang penyangga gedung sebuah fakultas di sebuah universitas ternama kokoh tiada banding. Heran, sepagi ini, banyak orang hilir mudik di tempat ini. Biasanya tidak. Mereka rapi berbusana, dan telah merias diri nampaknya. Mungkin ada acara.Ku lenturkan otot-otot kakiku untuk ku bisa nyaman berlari. Beberapa hari yang lalu, hanya bisa terkapar di atas ranjang dengan balutan kain di lutut kiriku. Ototku tertarik saat bermain futsal. Niatku, agar pagi ini bisa kembali seperti sediakala sekaligus menghangatkan badan dalam pelukan mentari. Mendung, langit kelabu dan awan-awan murung.Dari sudut yang jauh, aku melihat dia berdiri. Ku picingkan mataku untuk memastikan, itu adalah benar dia. Bercelana hijau, berjaket kelabu; sama seperti awan-awan ini. Mataku liar untuk mencari jalan masuknya menuju ke tempat dia sekarang berada. Ku lambaikan tanganku untuk menyapanya tanpa suara dan menunjuk sebuah lubang kecil di bawahku, seolah bertanya apa ini jalan masuknya. Dia mengagguk.Anak-anak tangga telah merelakan tubuh-tubuhnya untuk ku injak-injak. Tak seperti ibunya yang hanya mau dielus saja. Ah, barangkali seperti ini pula wajah para tokoh bangsa ini. Mereka rela memberikan tubuh-tubuh rakyat kecil untuk diinjak-injak demi kesenangan mereka. Satu, dua, tiga, dan lelah aku menghitungnya. Entah berapa anak yang telah aku injak demi untuk sampai kepadanya. Biarkan saja. Aku tak pangling padanya, masih sama seperti beberapa bulan yang lalu meski selama itu pula, banyak cerita haru yang dia bagi. Kalau aku, mungkin telah menjadi kurus karenanya. Hanya saja, ku lihat ada sebiji jerawat segar di pipinya sebelah kanan. Hemm… masa lalu yang tertinggalkan bagiku.Baru kemarin dia tiba di Yogyakarta, jam 5 sore. Wajahnya masih letih, guratan peta-peta kota asalnya masih membekas di bawah matanya dan sekitar bibirnya. Bisa jadi ini efek dari absen mandi pagi ini. Bisa jadi. Matanya tak cerah. Lagi-lagi seperti pagi ini yang mendung. Bahkan mentari tak juga terlihat kehadirannya dari atas sini pada saat yang seharusnya nampak. Tetapi senyumnya masih lebar. Pertanda hatinya tengah bahagia. Baguslah, pikirku. Dia lepaskan headset-nya dan menyerahkan padaku untuk ku bisa mendengar lagu baru yang aku tuliskan. Beberapa waktu lalu, tatkala aku berada di Semin, aku susun lirik lagu itu dalam alunan musik ber-genre rock. Terinspirasi dari kejadian-kejadian yang ku dengar tentang saat yang dinanti untuk hadir; berprestasi. Dan jelas itu tak kan datang berulang kali. Sambil ku dengar lagu Ipang yang judulnya aku lupa: “Kalau saja aku masih punya kesempatan yang sama/atau semua yang pernah terjadi bisa terulang lagi/ tapi ternyata kesempatan yang ada/ hanya sekali…”Aku tak mengerti itu lagu apa jenisnya. Dia bilang, Jazz! Simpul senyumku hadir. Sambil ku pejamkan mata menikmati iramanya, aku berpikir, kok bisa jadi jazz ya? padahal aroma musiknya adalah rock. Mungkin aku yang belum mahir merangkai nuansa rock. Tetapi yang jelas, dia memoles tulisanku menjadi bernuansa jazz. Menarik!Mentari belum juga beranjak. Sembari itu, mulutku tak henti berkomat-kamit mengisi ruang-ruang telinga yang makin sesak kata-kata. Dia menguap. Aku?? Sebenarnya iya, tapi aku tahan.Kenangan-kenangan masa lalu tatkala duduk di bangku JunHigh dan SenHigh menyedapkan hati. Gelak tawa yang terkurung lesu dalam murungnya pagi, kini bebas. Sebebas burung-burung kecil yang hilir mudik beterbangan di atas rumput hijau lapangan sepak bola. Suka-suka mereka hendak kemana. Hingga sekumpulan awak drum band berbaris a la tentara mengadakan upacara: sigap dan disiplin. Berbaris berjajar tiga terbagi menjadi empat kelompok saling berhadapan membentuk segi empat. Warna-warni pakaiannya menghiasi dominasi hijau dalam mataku.Waktu menyeret ku dan dia dalam lamunan. Sejenak, ku hirup nafas panjang dan berucap selamat jalan, terimakasih telah temaniku pagi ini sambil menunggu mentari hadir menyapa bumi. Senyumnya menjawab semuanya.

BaitApat, Yogya
Sept 19th, 2010
pagi yang murung