Dia berjalan lambat, atau aku yang ingin segera sampai
melampauinya? Bahkan aku pun tak habis pikir kenapa selalu ada dia. Bahkan
diantara aku dan kau. Ada dia diantara kita. Tapi tak mengapa kalau harus ada
dia. Yang menjadi mengapa adalah jalannya yang benar-benar sungguh lambat
akhir-akhir ini. Apa mungkin karena hiruk-pikuk suara musik instrumental dan
kemegahan kehidupan pasca KUA? Justru aku menjadi kembali bertanya, mengapa
megah kehidupan itu? Aku memang sengaja tak bertanya pada orang-orang di
sekitarku walau aku mampu. Aku yakin mereka pasti akan menjawab pertanyaan itu
dengan nada-nada sumbang yang tak tercerna alam pikirku. Tanpa bertanya, aku
bisa mendapat jawaban dari guratan wajah mereka saat menatapku. Dan matanya yang
menyorot tumpul-tajam mengindikasikan bahwa kehidupan pasca KUA bukanlah
kehidupan tanpa cela. Pun aku tak perlu bertanya pada mereka tentang hal itu.
Karena nyatanya, tak satupun orang yang sudi lari dari kehadirannya dalam
sejarah kehidupan manusia. Kita. Ya, kita. Tunjukkan padaku orang yang tiada
sudi menjalani kehidupan pasca KUA!
Aku dan kau bisa merencanakan dengan siapa hendak melampaui
kehidupan itu. Tetapi cinta lebih dari sekedar merencanakan dengan siapa atau
kapan membuka pintu kehidupan itu. Cinta tak bisa aku dan kau halangi untuk
tercurah pada siapa atau kapan. Dia kembali mengusik ketenangan pikirku. Dia
yang berjalan begitu lambat dan tenang. Tetapi justru membuatku gusar bagai
sebutir atom yang tertumbuk kemudian pecah betebaran kesegala arah. Aku tak
mengerti harus apa dan bagaimana meski pikirku jelas tercurah pada si tercinta.
Aku si pecinta.
Bujuk rayu pun hanya sebutir debu dari dunia cinta yang
tiada ujung. Seperti mereka yang sudi membutakan mata hati dan pikiran hanya
untuk menjaring cinta. Hei, siapa pula kini muncul mereka? Dia saja belum
selesai untuk diperbincangkan, sekarang muncul mereka. Kau, tidakkah kau tau
bahwa dia dan mereka sungguh-sungguh merasuk dalam alam pikirku.
Dan sungguh, ketika dia dan mereka hadir dalam alam pikirku,
namun selalu kau yang jadi ujung kemanjaanku. Benar bahwa merencanakan
kehidupan itu adalah kuasa kau dan aku, dan cinta itu adalah kuasa bukan kau
dan aku, maka tatkala kau dan aku memiliki dua dimensi itu, seperti dua wajah
tokoh wayang yang berkelebat menari-nari dalam rinai cahaya terang.
Aku tertunduk. Merebahkan pena yang sedari tadi tiada henti
bekerja membuat rekam sejarah cinta. Istirahatlah. Biarkan bintang gemintang di
ufuk sana mengintip ku. Aku bukan orang tiada cela. Boleh mereka mengintipku
bahkan bila mereka mau, aku tak sungkan menampakkan duka-luka ku. Aku jadi
semakin tertunduk layu mengingat itu. Betapa Dia senantiasa menutup duka-luka
ku meski aku masih saja menambah luka-luka-luka lain dalam tubuh ini. Itu
menambah degup jantungku semakin menjadi-jadi setiap kali ku simak deretan
angka warna-warni mengejekku dari sudut kamarku. Dari hitam ke merah, kemudian
menghitam kembali tiada kata permisi.
Tidakkah sekarang kau tau, siapa dia dan mereka yang ada
diantara aku dan kau? Dan deretan angka hitam-merah yang hanya bisa diam mencerminkan
perjalanan waktu yang lambat. Sementara mereka mengintai dengan tatapan yang
tajam dan sunggingan yang nyinyir karena permainan hati kecilku yang tahu
duka-luka ku sendiri.
Dia dan mereka berada di antara aku, kau, dan KUA.
Klebengan, BaitAPat
120414/1935