Kamis, 13 November 2014

Antara Aku, Kau, dan KUA


Dia berjalan lambat, atau aku yang ingin segera sampai melampauinya? Bahkan aku pun tak habis pikir kenapa selalu ada dia. Bahkan diantara aku dan kau. Ada dia diantara kita. Tapi tak mengapa kalau harus ada dia. Yang menjadi mengapa adalah jalannya yang benar-benar sungguh lambat akhir-akhir ini. Apa mungkin karena hiruk-pikuk suara musik instrumental dan kemegahan kehidupan pasca KUA? Justru aku menjadi kembali bertanya, mengapa megah kehidupan itu? Aku memang sengaja tak bertanya pada orang-orang di sekitarku walau aku mampu. Aku yakin mereka pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan nada-nada sumbang yang tak tercerna alam pikirku. Tanpa bertanya, aku bisa mendapat jawaban dari guratan wajah mereka saat menatapku. Dan matanya yang menyorot tumpul-tajam mengindikasikan bahwa kehidupan pasca KUA bukanlah kehidupan tanpa cela. Pun aku tak perlu bertanya pada mereka tentang hal itu. Karena nyatanya, tak satupun orang yang sudi lari dari kehadirannya dalam sejarah kehidupan manusia. Kita. Ya, kita. Tunjukkan padaku orang yang tiada sudi menjalani kehidupan pasca KUA!
Aku dan kau bisa merencanakan dengan siapa hendak melampaui kehidupan itu. Tetapi cinta lebih dari sekedar merencanakan dengan siapa atau kapan membuka pintu kehidupan itu. Cinta tak bisa aku dan kau halangi untuk tercurah pada siapa atau kapan. Dia kembali mengusik ketenangan pikirku. Dia yang berjalan begitu lambat dan tenang. Tetapi justru membuatku gusar bagai sebutir atom yang tertumbuk kemudian pecah betebaran kesegala arah. Aku tak mengerti harus apa dan bagaimana meski pikirku jelas tercurah pada si tercinta. Aku si pecinta.
Bujuk rayu pun hanya sebutir debu dari dunia cinta yang tiada ujung. Seperti mereka yang sudi membutakan mata hati dan pikiran hanya untuk menjaring cinta. Hei, siapa pula kini muncul mereka? Dia saja belum selesai untuk diperbincangkan, sekarang muncul mereka. Kau, tidakkah kau tau bahwa dia dan mereka sungguh-sungguh merasuk dalam alam pikirku.
Dan sungguh, ketika dia dan mereka hadir dalam alam pikirku, namun selalu kau yang jadi ujung kemanjaanku. Benar bahwa merencanakan kehidupan itu adalah kuasa kau dan aku, dan cinta itu adalah kuasa bukan kau dan aku, maka tatkala kau dan aku memiliki dua dimensi itu, seperti dua wajah tokoh wayang yang berkelebat menari-nari dalam rinai cahaya terang.
Aku tertunduk. Merebahkan pena yang sedari tadi tiada henti bekerja membuat rekam sejarah cinta. Istirahatlah. Biarkan bintang gemintang di ufuk sana mengintip ku. Aku bukan orang tiada cela. Boleh mereka mengintipku bahkan bila mereka mau, aku tak sungkan menampakkan duka-luka ku. Aku jadi semakin tertunduk layu mengingat itu. Betapa Dia senantiasa menutup duka-luka ku meski aku masih saja menambah luka-luka-luka lain dalam tubuh ini. Itu menambah degup jantungku semakin menjadi-jadi setiap kali ku simak deretan angka warna-warni mengejekku dari sudut kamarku. Dari hitam ke merah, kemudian menghitam kembali tiada kata permisi.
Tidakkah sekarang kau tau, siapa dia dan mereka yang ada diantara aku dan kau? Dan deretan angka hitam-merah yang hanya bisa diam mencerminkan perjalanan waktu yang lambat. Sementara mereka mengintai dengan tatapan yang tajam dan sunggingan yang nyinyir karena permainan hati kecilku yang tahu duka-luka ku sendiri.
Dia dan mereka berada di antara aku, kau, dan KUA.

Klebengan, BaitAPat
120414/1935

0 komentar:

Posting Komentar