I am moved. I was not moved. Every time I meet children
who still have pure heart, objective sight to problems, and quick acquisition to
new knowledge. I am moved toward their optimistic sight every time I ask
them, “Child, What would you like to be when you are adult?” often I hear their
answer “I would like to be a doctor”. That makes me more moved every time I
get the answer from those who are economically poor to fulfill, even their
daily needs, educational fees. They must pay their daily need by a flow of
sweat they have after working for the whole day. How can they get appropriate
school for their dream?
I am moved when I remember that Allah never gives us obstacles
without silver lines, disease without medicine, and sadness without happiness. But
until today, there is no medicine, at least, for HIV/AIDS, Cancer, Diabetes, and heart attack. Those who suffer those diseases must feel the pain for the whole of
their life. No exception. So far, we just know how to abate them and prevent
from them. But no medicine for them.
I am more and more moved when I imagine that if the
medicine of those diseases is prepared by Allah through those poor children who
have high ambition but there is no money for gaining higher education to reach
their dream. How cruel we are, Allah. You give us many many many fortunes in sufficiency
of money, good-looking, and other abilities to do. But our eyes are still
closed to help other people who do not have these fortunes. We beg your apologizes.
Hanya (Mungkin) Pada Mereka
Aku terharu. Dulu tidak sama sekali. Setiap kali aku bertemu
anak-anak kecil, dengan hati yang masih jernih, tatapan yang masih objektif terhadap
masalah, dan cepatnya pola pikir dalam menangkap pengetahuan baru. Aku terharu
pada tatapan mata mereka yang optimis setiap kali aku bertanya, “Dek, besok
kalau sudah besar, punya cita-cita apa?” tak jarang ku dengar jawaban mereka “Aku
ingin jadi dokter”. Itu makin membuat ku terharu tiap kali ku dapati bahwa
jawaban-jawaban itu ada pada diri anak-anak kurang mampu yang bahkan untuk
makan sehari-hari pun mereka harus membayar dengan kucuran keringat
sehari-semalam, bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Bagaimana mereka
bisa bersekolah untuk mencapai cita-cita mereka kalau demikian?
Aku terharu ketika mengingat bahwa Allah tak akan pernah
memberikan cobaan tanpa solusi, sakit tanpa obat, dan duka tanpa suka. Allah
selalu memberikan semua itu berpasang-pasangan seperti siang dan malam, laki
dan perempuan, naik dan turun, dan sebagainya. Ya, hingga detik ini, para
cendekia belum menemukan obat untuk HIV/AIDS, Kanker, Diabetes, Darah Tinggi,
dan berbagai penyakit lain. Dan mereka yang mengidap penyakit-penyakit itu,
haruslah menanggung duka sepanjang hidupnya. Sampai detik ini belum ada
penemuan untuk mengatasinya. Hanya beberapa penemuan yang telah dipastikan ada:
yakni untuk mencegah dan mengurangi. Tetapi, tetap, mereka harus mananggung
sakit itu sepanjang hayat.
Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak miskin yang
bercita-cita menjadi dokter? Aku pun terharu bahwa mereka sebagian besar tidak
mampu untuk mencapai pendidikan tinggi hingga dokter. Atau memilih untuk
memasuki dunia akademik lain yang sesuai kebutuhan mereka. Tetapi yang pertama
yang lebih banyak. Itu yang kutemui. Aku berpikir, Tuhan, apakah obat yang Kau
sediakan untuk penyakit-penyakit itu ada pada anak-anak miskin yang tak mampu
melanjutkan pendidikan mereka? Betapa kejam kami yang mampu dan berkecukupan
tetapi enggan membantu pendidikan mereka. Bagaimana jika penemuan-penemuan
besar untuk peradaban justru ada pada mereka? Ampuni kami makhluk-makhlukMu
yang serakah atas nikmat duniawi, Allah.
BaitApat
19092014/2021
19092014/2021