Jumat, 19 September 2014

Only if Only



I am moved. I was not moved. Every time I meet children who still have pure heart, objective sight to problems, and quick acquisition to new knowledge. I am moved toward their optimistic sight every time I ask them, “Child, What would you like to be when you are adult?” often I hear their answer “I would like to be a doctor”. That makes me more moved every time I get the answer from those who are economically poor to fulfill, even their daily needs, educational fees. They must pay their daily need by a flow of sweat they have after working for the whole day. How can they get appropriate school for their dream?
I am moved when I remember that Allah never gives us obstacles without silver lines, disease without medicine, and sadness without happiness. But until today, there is no medicine, at least,  for HIV/AIDS, Cancer, Diabetes, and heart attack. Those who suffer those diseases must feel the pain for the whole of their life. No exception. So far, we just know how to abate them and prevent from them. But no medicine for them.
I am more and more moved when I imagine that if the medicine of those diseases is prepared by Allah through those poor children who have high ambition but there is no money for gaining higher education to reach their dream. How cruel we are, Allah. You give us many many many fortunes in sufficiency of money, good-looking, and other abilities to do. But our eyes are still closed to help other people who do not have these fortunes. We beg your apologizes.

Hanya (Mungkin) Pada Mereka
Aku terharu. Dulu tidak sama sekali. Setiap kali aku bertemu anak-anak kecil, dengan hati yang masih jernih, tatapan yang masih objektif terhadap masalah, dan cepatnya pola pikir dalam menangkap pengetahuan baru. Aku terharu pada tatapan mata mereka yang optimis setiap kali aku bertanya, “Dek, besok kalau sudah besar, punya cita-cita apa?” tak jarang ku dengar jawaban mereka “Aku ingin jadi dokter”. Itu makin membuat ku terharu tiap kali ku dapati bahwa jawaban-jawaban itu ada pada diri anak-anak kurang mampu yang bahkan untuk makan sehari-hari pun mereka harus membayar dengan kucuran keringat sehari-semalam, bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Bagaimana mereka bisa bersekolah untuk mencapai cita-cita mereka kalau demikian?
Aku terharu ketika mengingat bahwa Allah tak akan pernah memberikan cobaan tanpa solusi, sakit tanpa obat, dan duka tanpa suka. Allah selalu memberikan semua itu berpasang-pasangan seperti siang dan malam, laki dan perempuan, naik dan turun, dan sebagainya. Ya, hingga detik ini, para cendekia belum menemukan obat untuk HIV/AIDS, Kanker, Diabetes, Darah Tinggi, dan berbagai penyakit lain. Dan mereka yang mengidap penyakit-penyakit itu, haruslah menanggung duka sepanjang hidupnya. Sampai detik ini belum ada penemuan untuk mengatasinya. Hanya beberapa penemuan yang telah dipastikan ada: yakni untuk mencegah dan mengurangi. Tetapi, tetap, mereka harus mananggung sakit itu sepanjang hayat.
Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak miskin yang bercita-cita menjadi dokter? Aku pun terharu bahwa mereka sebagian besar tidak mampu untuk mencapai pendidikan tinggi hingga dokter. Atau memilih untuk memasuki dunia akademik lain yang sesuai kebutuhan mereka. Tetapi yang pertama yang lebih banyak. Itu yang kutemui. Aku berpikir, Tuhan, apakah obat yang Kau sediakan untuk penyakit-penyakit itu ada pada anak-anak miskin yang tak mampu melanjutkan pendidikan mereka? Betapa kejam kami yang mampu dan berkecukupan tetapi enggan membantu pendidikan mereka. Bagaimana jika penemuan-penemuan besar untuk peradaban justru ada pada mereka? Ampuni kami makhluk-makhlukMu yang serakah atas nikmat duniawi, Allah.

BaitApat
19092014/2021