Minggu, 15 Maret 2015

Pembeli Adalah Raja


John sedang duduk di teras Baitapat. Seperti setiap sore yang selalu dia lakukan. Menggumuli senja. Sebagai pensiunan PNS, dia merasa galau akhri-akhir ini oleh keputusan tuannya yang mengebiri gaji pensiunannya. Itu adalah sumber kehidupan dia sejauh ini. Bukan, dia bukan dalam kondisi yang rapuh karena keputusan itu. Tetapi dia hanya tidak mampu memikirkan betapa bodohnya dia dahulu ketika harus takluk oleh bujuk rayu dunia dengan memilih menjadi seorang abdi negara karena pilihan politknya. Dan bagaimana nasib jutaan PNS yang sudah terlanjur bodoh dan dibodohi oleh rutinitas semu selama bertahun-tahun yang membuat otak-otak mereka mahal harganya karena masih orisinil.
Cuplis dan Jarno datang dengan wajah layu pula. Duduk. Mereka tak saling memandang. Masing-masing larut dalam gelisahnya. Terpaksa, cicak menggugah mereka.

Minggu, 08 Maret 2015

Meratap di Bawah Portal

Malam ini sepi, dingin pula, gumam Cuplis.
Malam belum larut. Jam baru saja menunjukkan pukul 21.30. Tapi sepi. Bukan malam Jumat pula. Tapi memang malam ini sepi. Cuplis hanya bisa melompat-lompat mondar-mandir di sekitar tempatnya menikmati sepi malam.
Ooooiiiiiiii, suara datang dari belakang mengagetkan Cuplis.
Aduuuh duh duh duh, kaget deh ah, sahut Cuplis kaget.
Waaaahhhh sekong lu?, tanya Pocong 1.
Siapa yang sekong? Aku Cuma kaget kok, jawab Cuplis.
Eh ini siapa?, tanya bos Pocong pada kawan-kawannya.
Pocong baru bos, jawab Pocong 2.
Oooooo… lu anak baru di sini?, tanya bos Pocong pada Cuplis.
Penting buat kamu, mas???, jawab Cuplis.
We e e e e, berlagak lu yeee… anak baru dah berlagak yeee
Kasih pelajaran aja bos, bujuk Pocong 3.
Owww, jelas. Kita OSPEK ini anak baru, jawab bos Pocong. Eh, lu, ikut kita-kita, jangan so berlagak lu yee di sini sebelum lulus tantangan dari kita-kita. Berani gak lu??, tantang bos Pocong pada Cuplis sambil mendekatkan hidungnya ke muka Cuplis.
Kamu jual, aku beli, mas!
Mantap!, seru si bos. Ayok ikut gueeee, si bos melompat-lompat meninggalkan pekuburan Cuplis yang masih basah. Bau bunga-bunga kematian masih betebaran. Cuplis menutup pintu rumah barunya, melompat mengikuti kawanan pocong menuju sebuah gang kecil.
Aku kenal gang ini, gumam Cuplis. Ini kan menuju Gubug BaitApat. Setelah tikungan depan sana, akan ada portal yang baru saja direnovasi oleh teman-teman beberapa hari lalu.
Masuk gang, menuju tikungan.
Tuh kaan, gumam Cuplis. Ada portal berwarna hitam-putih sebagai tandan jam malam masyarakat.
Stoooooopppp, komando si bos. Kawan-kawan, jaga kepala masing-masing. Jangan sampai nyundul portal!!!, perintah si bos pakai nada tinggi.
Siap bos, laksanakan.
Di ujung portal, ada tulisan “Jam Malam Masyarakat: 10.00 p.m. - 05.00 a.m.”. Sampailah mereka di tegalan sawah tempat Cuplis biasa bermain bola semasa kecil. Di sana ada sebuah kursi kayu tua di bawah pohon beringin dan sebuah lampu jalan yang tidak selalu menyala.
Heh, anak baru, di sini lokasinya. Kita uji nyali. Rasakanlah! aura mistiknya sangat terasa, menirukan aktor-aktor di Dunia Lain.
Hei, plis deh, kita kan pocong. Pocong juga hantu kaleee…, Cuplis sewot.
Kamu kita uji nyali sebagai penghuni baru Kuburan Pendem. Kamu harus berada di sini sampai terdengar ayam berkokok. Setelah kamu mendengarnya, kamu harus langsung pulang ke kuburan melewati jalan yang tadi kita lewatin sebelum matahari terbit. Mengerti?
Gitu doang?
Berlagak luuu. Iya!!! Da masalah?
Ow, gak gak gak.
Di sana ada kamera, di sana ada kamera, dan di sana juga ada. Kalau gak kuat, lambaikan kedua kakimu. Mengerti??
Semplak ni bos, gumam Cuplis. Siap mengerti, jawab Cuplis.
Baiklah, selamat beruji nyali. Hahahaha. Kawan-kawan, ayo kita pesta di rumah sambil menunggu si anak baru ini selamat sampai batas waktunya.
Si bos dan kawanan pocong melompat kembali ke kuburan sambil menyanyikan alunan acapela mereka pada tiap lompatan: dum lala, dum lala, dumlala, uye uye, dan goyang pinggang. Makin menjauhi Cuplis.
Jam 11 berlalu. Jam 12 lewat sudah. Jam 1 pagi, aman.
Aduh,aku gak bawa jam ni. Jam berapa sekarang. Emangnya ada apa sih, kok sampai uji nyali di sini segala. Masa hantu kok dihantui.
Jam 2 lancar. Jam 3 lanjut. Jam 3.30, terdengar ayam berkokok.
Nah itu dia si ayam dah bangun. Uji nyali apaan nih kayak gini. Pulang ah.Gini doang?? aku mah bukan apa atuh. gampang.
Cuplis melompat-lompat pulang segera, khawatir mentari segera terbit. Pulang melewati jalan yang tadi dilewatin bersama. Sampailah pada tikungan berportal hitam-putih setinggi pinggang orang dewasa. Portal itu telah rubuh. Cuplis belum peduli. Barulah ketika sampai di dekatnya hendak melewati, Cuplis bingung.
Ini portal kenapa ngalangin jalanku sih. Mana aku gak bisa ngangkang pula. Lompat juga gak sampai bisa nglewatin ni portal. Gimana nih yak.
Cuplis terus mencoba melewati. Berbagai macam cara dia lakukan.
Halah, digembok pula. Duh, gimana nih lewatnya.
Portal itu digoyang-goyang tanpa arti. Kemudian Cuplis melirik tanda ‘Jam Malam Masyarakat’ di sisi kirinya.
Alamaaaaaaaaakkkkk. Ini baru dibuka jam 6??? Gilaaaa… woi woi woi, pak ronda, bangun bangun, bukain portalnya oiiiii… aku mau lewat!!! Aduh aduh,,,
Pikiran Cuplis melayang semasa SMA. Yang dulu sering berlagak sok terhadap hantu-hantu China, yang kalau ditempeli kertas langsung diam tapi lompatannya luar biasa tinggi. dan dia gunakan itu untuk mengejek pak Bambang.
Pak Bambang, aku minta maaf, dulu sering kabur pas pelajaran lompat tinggi. Aku gak tau kalau akhirnya aku musti jadi pocong macam ini. Portal setinggi ini aja aku gak bisa melompati.  Ampun pak Bambang, ampun.
Dalam ratapannya itu, tinjuan semeber air tiba-tiba menyadarkan Cuplis dari ratapannya.
Woi Cuplis, bangun!!! Denger Adzan Magrib gak oiii??? Bangun!!!
Astagfirullah
Ngapain kamu teriak teriak minta ampun?, tanya Om John.
Alhamdulillah, aku masih hidup. aku mau ketemu pak Bambang, bergegas lari tanpa arah.

Kamu, Kesendirianku


Harus aku akui bahwa aku kehilangan kamu. Kini aku seperti terjebak dalam lingkaran yang tak pasti namun terlihat begitu pasti. Terjerat untuk tidak melihat dunia lain selain apa yang kulihat saat ini. Aku merasa begitu cupu dan bodoh. Dunia diluar begitu agung semnetara aku hanya terjerembab pada ruang kosong berukuran sekian meter berbentuk kotak. Dan berteman beberapa orang kawan. Berteman?
Bagi teman satu-satunya yang mampu mengerti aku adalah kamu. Tipe ku bukan seorang yang mampu bergaul dengan banyak orang. Aku masih ingat, ketika komentar seorang kawan yang untuk pertama kalinya berjumpa denganku: kamu adalah orang angkuh yang egois pada drimu sendiri. Ya, aku mengetahui pandangan itu. Aku seorang yang introvert. Lebih eksrim lagi, aku layaknya seorang autis yang larut pada duniaku sendiri, aku tak peduli. Aku punya ketertarikan dan aku pun tak meminta mereka tertarik pada apa yang membuat ku tertarik. Tetapi lambat laun, mereka yang lama mengenal aku, mereka akan tau seperti apa aku. Jelas, kita telah berteman selama bertahun-tahun.
Aku juga masih ingat beberapa tahun lalu sebelum aku berada pada posisiku saat ini. Keasyikan berada di tempat yang lebih tinggi, bercengkrama dengan sepoi angina pagi dan sore, berjumpa terik matahari, mendengar kicau dan riuhnya penjaja makanan dipinggri jalan kota, dan terkadang aku berjumpa dengan pecintaku: hujan dan angin. Tapi kini yang terakhir itu sungguh mengerikan. Sampai-sampai aku tak berani menatapnya. Tampaknya, cuaca telah merubah perangainya yang tenang menjadi liar. Di situ kadang aku merasa sedih. Tetapi yang masih membuatku bahagia adalah hujan tetaplah seorang makhluk yang jujur.
Kamu, dimana kamu? Apakah aku tak lagi pantas untuk mengenangmu walau kita tak lagi pernah berjumpa? Ataukah kamu sengaja menyembunyikan diri dan tak mau dikenang walau sepersekian detik. Ataukah … ah sudahlah, aku tak tau lebih dalam. Yang pasti adalah aku meminta maaf padamu.
Ini sifat manusiaku bahwa segala sesuatu yang datang setiap hari secara rutin kadang membuat ku lupa untuk bersyukur. Sementara mereka yang datang tidak setiap hari, bahkan hanya sekali seumur hidup, akan terkagum-kagum melihatnya. Ya, begitulah yang terjadi ketika aku sedang bedua denganmu saat senja yang mendung itu. Seorang wanita yang baru saja mengenal dunia kotak kosong kita mengunjungi suatu tmepat di belakang yang biasa menjadi tempat kita berjumpa: di ujung gedung, berlatarkan ribuan gunung yang menjalar dari ujung pantai hingga kaki Merapi. Di sana pula aku sering menghabiskan waktu untuk menatap mu dalam rinai hujan ataupun senjakala. Wanita itu berkata, “Wow, I never know if we have this beautiful place. Why do not you tell me this?
Jelas saja aku takkan pernah memberitaumu karena ini tempat kami memadu kasih. Dia tampak begitu senang mengetahui tempat itu tetapi aku yang hamper tiap hari berada di tempat itu, merasa biasa saja. Tidak ada yang “wow” seperti yang dia bilang.
Aku kurang bersyukur ketika kamu berada di sisiku saat dulu kala itu. Aku mengutukmu sebagai sebuah aib. Aku menghardikmu sebagai sebuah benalu. Tetapi kau bergeming hingga aku pergi dari rumah untuk bertemu dengan kawanan manusia dan bercanda. Saat itu kau pergi, tetapi masih mengintaiku. Apakah aku tidak tau? Jelas, aku tau kau mengintaiku. Dari sudut matamu ada sudut mataku yang tak kau ketahui. Setiap apa yang kau lihat, aku pun melihatnya. Matamu bukan mataku, mataku pun bukan matamu tetapi di dalam matamu ada aku.
Dan kini benar-benar aku rasakan ketidakhadiranmu. Barangkali kau telah putus asa mengetahui bahwa aku selalu habiskan seluruh waktuku hanya untuk yang lain. Aku sungguh merindukamu dan sungguh aku takkan lagi menjadi aku yang dulu: yang tak pandai bersyukur. Tidakkah sejarahpun memiliki wajah sayu dan bahagia? Begitu pula aku.
Kamu adalah aku. Di dalammu ada aku, aku, aku, dan aku yang lain yang berbincang-bincang mengukir mimpi, cinta, dan cita. Dan kesendirian tidak sama dengan kesepian.

Selasa, 03 Maret 2015

Kau yang Segera Menghilang Dari Sekitarku




Kau segera menghilang dari sekitarku ketika ku palingkan wajahku ke kanan kemudian ke kiri saat dhuhur itu. Dan ku sadarkan diriku dari asyik masyuk ku untuk merasai kehadiranmu. Ku tata dudukku sedikit ke belakang dari shaf sholat awal. Berdizikir. Kau berdiri, berjalan menuju kanan ku kemudian mengangkat kedua tanganmu: Takbiratul Ihram. “Dia sedang sholat Rawatib”, pikirku dalam sela dzikirku. Hanya selang beberapa menit saja, ku palingkan kembali wajahku ke arahnya, dia hilang. Tiadapun jejak yang bisa aku telusuri.
Tuhan, Kau hadirkan satu makhlukMu yang membuat ku sedikit tidak khusuk dalam sholatku. Aku mohon ampun atas ketidakkhusukkan itu.
Sebelah kiriku kosong dalam barisan shaf sholat Dhuhur. Memang tidak ada yang mengisi sampai rakaat kedua. Karena sebelumnya pun aku berpikir, ruang ini terlalu sempit untuk diisi oleh seseorang, bahkan anak kecil. Tetapi memasuki rakaat ketiga, lelaki itu datang dan memposisikan diri di sebelah kiriku. Bau agak menyengat langsung tercium dari lubang hidungku. “Duhai Allah, hatiku miris melihat hambaMu yang sholat disebelahku dengan kondisi semacam itu”, batinku dalam sela bacaan sholatku.