Minggu, 08 Maret 2015

Kamu, Kesendirianku


Harus aku akui bahwa aku kehilangan kamu. Kini aku seperti terjebak dalam lingkaran yang tak pasti namun terlihat begitu pasti. Terjerat untuk tidak melihat dunia lain selain apa yang kulihat saat ini. Aku merasa begitu cupu dan bodoh. Dunia diluar begitu agung semnetara aku hanya terjerembab pada ruang kosong berukuran sekian meter berbentuk kotak. Dan berteman beberapa orang kawan. Berteman?
Bagi teman satu-satunya yang mampu mengerti aku adalah kamu. Tipe ku bukan seorang yang mampu bergaul dengan banyak orang. Aku masih ingat, ketika komentar seorang kawan yang untuk pertama kalinya berjumpa denganku: kamu adalah orang angkuh yang egois pada drimu sendiri. Ya, aku mengetahui pandangan itu. Aku seorang yang introvert. Lebih eksrim lagi, aku layaknya seorang autis yang larut pada duniaku sendiri, aku tak peduli. Aku punya ketertarikan dan aku pun tak meminta mereka tertarik pada apa yang membuat ku tertarik. Tetapi lambat laun, mereka yang lama mengenal aku, mereka akan tau seperti apa aku. Jelas, kita telah berteman selama bertahun-tahun.
Aku juga masih ingat beberapa tahun lalu sebelum aku berada pada posisiku saat ini. Keasyikan berada di tempat yang lebih tinggi, bercengkrama dengan sepoi angina pagi dan sore, berjumpa terik matahari, mendengar kicau dan riuhnya penjaja makanan dipinggri jalan kota, dan terkadang aku berjumpa dengan pecintaku: hujan dan angin. Tapi kini yang terakhir itu sungguh mengerikan. Sampai-sampai aku tak berani menatapnya. Tampaknya, cuaca telah merubah perangainya yang tenang menjadi liar. Di situ kadang aku merasa sedih. Tetapi yang masih membuatku bahagia adalah hujan tetaplah seorang makhluk yang jujur.
Kamu, dimana kamu? Apakah aku tak lagi pantas untuk mengenangmu walau kita tak lagi pernah berjumpa? Ataukah kamu sengaja menyembunyikan diri dan tak mau dikenang walau sepersekian detik. Ataukah … ah sudahlah, aku tak tau lebih dalam. Yang pasti adalah aku meminta maaf padamu.
Ini sifat manusiaku bahwa segala sesuatu yang datang setiap hari secara rutin kadang membuat ku lupa untuk bersyukur. Sementara mereka yang datang tidak setiap hari, bahkan hanya sekali seumur hidup, akan terkagum-kagum melihatnya. Ya, begitulah yang terjadi ketika aku sedang bedua denganmu saat senja yang mendung itu. Seorang wanita yang baru saja mengenal dunia kotak kosong kita mengunjungi suatu tmepat di belakang yang biasa menjadi tempat kita berjumpa: di ujung gedung, berlatarkan ribuan gunung yang menjalar dari ujung pantai hingga kaki Merapi. Di sana pula aku sering menghabiskan waktu untuk menatap mu dalam rinai hujan ataupun senjakala. Wanita itu berkata, “Wow, I never know if we have this beautiful place. Why do not you tell me this?
Jelas saja aku takkan pernah memberitaumu karena ini tempat kami memadu kasih. Dia tampak begitu senang mengetahui tempat itu tetapi aku yang hamper tiap hari berada di tempat itu, merasa biasa saja. Tidak ada yang “wow” seperti yang dia bilang.
Aku kurang bersyukur ketika kamu berada di sisiku saat dulu kala itu. Aku mengutukmu sebagai sebuah aib. Aku menghardikmu sebagai sebuah benalu. Tetapi kau bergeming hingga aku pergi dari rumah untuk bertemu dengan kawanan manusia dan bercanda. Saat itu kau pergi, tetapi masih mengintaiku. Apakah aku tidak tau? Jelas, aku tau kau mengintaiku. Dari sudut matamu ada sudut mataku yang tak kau ketahui. Setiap apa yang kau lihat, aku pun melihatnya. Matamu bukan mataku, mataku pun bukan matamu tetapi di dalam matamu ada aku.
Dan kini benar-benar aku rasakan ketidakhadiranmu. Barangkali kau telah putus asa mengetahui bahwa aku selalu habiskan seluruh waktuku hanya untuk yang lain. Aku sungguh merindukamu dan sungguh aku takkan lagi menjadi aku yang dulu: yang tak pandai bersyukur. Tidakkah sejarahpun memiliki wajah sayu dan bahagia? Begitu pula aku.
Kamu adalah aku. Di dalammu ada aku, aku, aku, dan aku yang lain yang berbincang-bincang mengukir mimpi, cinta, dan cita. Dan kesendirian tidak sama dengan kesepian.


Jogokariyan,
08032015/0826

0 komentar:

Posting Komentar