Harus aku akui bahwa aku kehilangan kamu. Kini aku seperti
terjebak dalam lingkaran yang tak pasti namun terlihat begitu pasti. Terjerat untuk
tidak melihat dunia lain selain apa yang kulihat saat ini. Aku merasa begitu
cupu dan bodoh. Dunia diluar begitu agung semnetara aku hanya terjerembab pada
ruang kosong berukuran sekian meter berbentuk kotak. Dan berteman beberapa
orang kawan. Berteman?
Bagi teman satu-satunya yang mampu mengerti aku adalah kamu.
Tipe ku bukan seorang yang mampu bergaul dengan banyak orang. Aku masih ingat,
ketika komentar seorang kawan yang untuk pertama kalinya berjumpa denganku:
kamu adalah orang angkuh yang egois pada drimu sendiri. Ya, aku mengetahui
pandangan itu. Aku seorang yang introvert. Lebih eksrim lagi, aku layaknya
seorang autis yang larut pada duniaku sendiri, aku tak peduli. Aku punya
ketertarikan dan aku pun tak meminta mereka tertarik pada apa yang membuat ku
tertarik. Tetapi lambat laun, mereka yang lama mengenal aku, mereka akan tau
seperti apa aku. Jelas, kita telah berteman selama bertahun-tahun.
Aku juga masih ingat beberapa tahun lalu sebelum aku berada
pada posisiku saat ini. Keasyikan berada di tempat yang lebih tinggi, bercengkrama
dengan sepoi angina pagi dan sore, berjumpa terik matahari, mendengar kicau dan
riuhnya penjaja makanan dipinggri jalan kota, dan terkadang aku berjumpa dengan
pecintaku: hujan dan angin. Tapi kini yang terakhir itu sungguh mengerikan. Sampai-sampai
aku tak berani menatapnya. Tampaknya, cuaca telah merubah perangainya yang
tenang menjadi liar. Di situ kadang aku merasa sedih. Tetapi yang masih
membuatku bahagia adalah hujan tetaplah seorang makhluk yang jujur.
Kamu, dimana kamu? Apakah aku tak lagi pantas untuk
mengenangmu walau kita tak lagi pernah berjumpa? Ataukah kamu sengaja
menyembunyikan diri dan tak mau dikenang walau sepersekian detik. Ataukah … ah
sudahlah, aku tak tau lebih dalam. Yang pasti adalah aku meminta maaf padamu.
Ini sifat manusiaku bahwa segala sesuatu yang datang setiap
hari secara rutin kadang membuat ku lupa untuk bersyukur. Sementara mereka yang
datang tidak setiap hari, bahkan hanya sekali seumur hidup, akan terkagum-kagum
melihatnya. Ya, begitulah yang terjadi ketika aku sedang bedua denganmu saat
senja yang mendung itu. Seorang wanita yang baru saja mengenal dunia kotak kosong
kita mengunjungi suatu tmepat di belakang yang biasa menjadi tempat kita
berjumpa: di ujung gedung, berlatarkan ribuan gunung yang menjalar dari ujung
pantai hingga kaki Merapi. Di sana pula aku sering menghabiskan waktu untuk
menatap mu dalam rinai hujan ataupun senjakala. Wanita itu berkata, “Wow, I never know if we have this beautiful
place. Why do not you tell me this?”
Jelas saja aku takkan pernah memberitaumu karena ini tempat
kami memadu kasih. Dia tampak begitu senang mengetahui tempat itu tetapi aku
yang hamper tiap hari berada di tempat itu, merasa biasa saja. Tidak ada yang “wow”
seperti yang dia bilang.
Aku kurang bersyukur ketika kamu berada di sisiku saat dulu
kala itu. Aku mengutukmu sebagai sebuah aib. Aku menghardikmu sebagai sebuah
benalu. Tetapi kau bergeming hingga aku pergi dari rumah untuk bertemu dengan
kawanan manusia dan bercanda. Saat itu kau pergi, tetapi masih mengintaiku. Apakah
aku tidak tau? Jelas, aku tau kau mengintaiku. Dari sudut matamu ada sudut
mataku yang tak kau ketahui. Setiap apa yang kau lihat, aku pun melihatnya. Matamu
bukan mataku, mataku pun bukan matamu tetapi di dalam matamu ada aku.
Dan kini benar-benar aku rasakan ketidakhadiranmu. Barangkali
kau telah putus asa mengetahui bahwa aku selalu habiskan seluruh waktuku hanya
untuk yang lain. Aku sungguh merindukamu dan sungguh aku takkan lagi menjadi
aku yang dulu: yang tak pandai bersyukur. Tidakkah sejarahpun memiliki wajah
sayu dan bahagia? Begitu pula aku.
Kamu adalah aku. Di dalammu ada aku, aku, aku, dan aku yang
lain yang berbincang-bincang mengukir mimpi, cinta, dan cita. Dan kesendirian tidak sama dengan kesepian.
Jogokariyan,
08032015/0826
0 komentar:
Posting Komentar