Apakah hidup itu? Rasa ini berkecamuk hebat di dalam
kebodohanku yang tak mampu menafsirkan apa yang Kau mau. Kau bilang hidup ini
hanyalah senda gurau belaka. Hidup ini adalah permainan. Hidup ini adalah
ujian. Leluhurku menyebut hidup hanya sebuah perjalanan dari satu tempat ke
tempat lainnya dan singgah sejenak “nunut ngombe (numpang minum). Bagaimana aku
bisa tahu dan memahami bahwa hidup adalah seperti itu, Ya Allah?
Bagaimana aku bisa tahu bahwa hidup ini hanyalah senda gurau
belakan yang Kau hamparkan di muka bumi? Lelucon yang Kau sajikan tak mampu aku
cerna sebagai sebuah lelucon yang menghibur. Lelucon yang sering aku simak
dengan keseriusan: serius mencoba menikmati lelucon ini. Aku pikir, tidak hanya
aku. Hampir seluruh makhlukMu melihat leluconMu sebagai sebuah keseriusan yang
akut.
Lalu bagaimana aku bisa menikmati leluconMu itu, Ya Allah?
Seorang seniman akan menyiapkan penampilannya dengan sangat
serius meski pertunjukkan yang akan ditampilkan adalah sebuah lelucon. Dia akan
merasa puas bila pesan yang ada di otaknya bisa tersampaikan dengan baik ke
dalam otak penonton. Aku pun yakin bahwa Kau telah siapkan pertunjukkan ini dengan
serius tetapi aku masih saja tak mampu pesan moralMu. Aku begitu bodoh, Ya
Allah.
Konflik terjadi di tengah masyarakat. Berbagai usaha
dilakukan untuk menuntaskan masalah yang menjadi penyebab konflik itu. Hukum rimba
yang dikatakan punah ternyata kokoh menginjakkan taringnya dan dianggap lumrah.
Orang-orang jujur punah perlahan. Orang-orang alim yang patuh pada peraturanMu
hilang perlahan. Orang-orang rakus, serakah, culas, curang, bahkan munafik
justru betebaran di mana-mana. Mereka menguasai berbagai lini kehidupan. Sempat
aku tertawa melihat fenomena ini. Tetapi berikutnya adalah tangisan duka dalam
dada ini. Tawaku tak lagi tersungging melihat apa yang terjadi di sekelilingku.
Bahkan apa yang terjadi pada diriku sendiri. Ya Allah, hal itu gak lucu, bukan
senda gurau seperti yang Kau katakana dalam kitabMu.
Mereka yang tak patuh kepadaMu, bahkan meragukanMu, tampak
berkuasa dan memiliki kemampuan mengatur hidup orang lain, bahkan kehidupan dan
kematian. Kenapa bisa demikian Allah? Kenapa justru mereka yang mengerti
pesanMu tak memiliki banyak pengaruh kepada yang lain, bahkan terlihat asing di
mata yang lain?
Uang. Orang memandang uang adalah Tuhan mereka. Segala yang
ada di bumi ini tiada aka nada harganya tanpa uang. Alat ukur jual beli telah
merasuk dalam alam pikir kami, Allah, mungkin menggantikanMu. Bagiamana tidak,
kami tak mampu menjangkauMu. Kami tak mampu, Allah. Tak mau belajar? Kami bukan
tak mau belajar. Kami bukan tak mau peduli pada hamparan ilmu dariMu. Tetapi
kami justru terpojokkan setiap tetes ilmu yang aku pelajari menjadi bahan
gunjingan, menjadi sasaran keterkucilan di masyarakat, dan menjadi sasaran atas
kekacauan yang terjadi di mana pun.
Ya Allah, ampuni aku jika terkadang aku ragu hari esok akan
menjadi seperti apa. rezekiMu begitu abstrak. Ya Allah, jangan Kau hukum aku
atas keraguanku ke dalam golongan orang-orang musyrik. Karena sungguh aku tahu
bahwa rezeki dariMu akan selalu mengalir dan tercurah untuk makhluk-makhlukMu. Bahkan
untuk pohon-pohon yang tak mampu move on selayaknya makhlukMu yang lain, Kau
sediakan mereka rezeki untuk hidup. Ya Allah, sungguh semata-mata itu hanya
ketakutanku saja, keterbatasan ilmuku, ketidamampuanku melihat kebesaranMu, dan
kelemahan-kelemahanku di dlam roh kehidupanku.
Ya Allah, senda gurau ini tampak begitu serius. Senda gurau
ini tampak begitu abadi. Senda gurau ini seolah merupakan jiwa dari tiap
kehidupan. Kami belum mampu tersenyum bahkan tertawa atas tiap keputusanMu yang
kami lihat di depan mata kami.
Ya Allah, ampuni kami atas semua kebodohan kami. Yang buruk
atau baik di mata kami, belum tentu buruk atau baik di mataMu. Kami belum mampu
menertawai diri kami dan ini semua.
BaitApat, Jogokaryan
300815/1233