Minggu, 30 Agustus 2015

Senda Gurau Saja


Apakah hidup itu? Rasa ini berkecamuk hebat di dalam kebodohanku yang tak mampu menafsirkan apa yang Kau mau. Kau bilang hidup ini hanyalah senda gurau belaka. Hidup ini adalah permainan. Hidup ini adalah ujian. Leluhurku menyebut hidup hanya sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dan singgah sejenak “nunut ngombe (numpang minum). Bagaimana aku bisa tahu dan memahami bahwa hidup adalah seperti itu, Ya Allah?
Bagaimana aku bisa tahu bahwa hidup ini hanyalah senda gurau belakan yang Kau hamparkan di muka bumi? Lelucon yang Kau sajikan tak mampu aku cerna sebagai sebuah lelucon yang menghibur. Lelucon yang sering aku simak dengan keseriusan: serius mencoba menikmati lelucon ini. Aku pikir, tidak hanya aku. Hampir seluruh makhlukMu melihat leluconMu sebagai sebuah keseriusan yang akut.
Lalu bagaimana aku bisa menikmati leluconMu itu, Ya Allah?
Seorang seniman akan menyiapkan penampilannya dengan sangat serius meski pertunjukkan yang akan ditampilkan adalah sebuah lelucon. Dia akan merasa puas bila pesan yang ada di otaknya bisa tersampaikan dengan baik ke dalam otak penonton. Aku pun yakin bahwa Kau telah siapkan pertunjukkan ini dengan serius tetapi aku masih saja tak mampu pesan moralMu. Aku begitu bodoh, Ya Allah.
Konflik terjadi di tengah masyarakat. Berbagai usaha dilakukan untuk menuntaskan masalah yang menjadi penyebab konflik itu. Hukum rimba yang dikatakan punah ternyata kokoh menginjakkan taringnya dan dianggap lumrah. Orang-orang jujur punah perlahan. Orang-orang alim yang patuh pada peraturanMu hilang perlahan. Orang-orang rakus, serakah, culas, curang, bahkan munafik justru betebaran di mana-mana. Mereka menguasai berbagai lini kehidupan. Sempat aku tertawa melihat fenomena ini. Tetapi berikutnya adalah tangisan duka dalam dada ini. Tawaku tak lagi tersungging melihat apa yang terjadi di sekelilingku. Bahkan apa yang terjadi pada diriku sendiri. Ya Allah, hal itu gak lucu, bukan senda gurau seperti yang Kau katakana dalam kitabMu.
Mereka yang tak patuh kepadaMu, bahkan meragukanMu, tampak berkuasa dan memiliki kemampuan mengatur hidup orang lain, bahkan kehidupan dan kematian. Kenapa bisa demikian Allah? Kenapa justru mereka yang mengerti pesanMu tak memiliki banyak pengaruh kepada yang lain, bahkan terlihat asing di mata yang lain?
Uang. Orang memandang uang adalah Tuhan mereka. Segala yang ada di bumi ini tiada aka nada harganya tanpa uang. Alat ukur jual beli telah merasuk dalam alam pikir kami, Allah, mungkin menggantikanMu. Bagiamana tidak, kami tak mampu menjangkauMu. Kami tak mampu, Allah. Tak mau belajar? Kami bukan tak mau belajar. Kami bukan tak mau peduli pada hamparan ilmu dariMu. Tetapi kami justru terpojokkan setiap tetes ilmu yang aku pelajari menjadi bahan gunjingan, menjadi sasaran keterkucilan di masyarakat, dan menjadi sasaran atas kekacauan yang terjadi di mana pun.
Ya Allah, ampuni aku jika terkadang aku ragu hari esok akan menjadi seperti apa. rezekiMu begitu abstrak. Ya Allah, jangan Kau hukum aku atas keraguanku ke dalam golongan orang-orang musyrik. Karena sungguh aku tahu bahwa rezeki dariMu akan selalu mengalir dan tercurah untuk makhluk-makhlukMu. Bahkan untuk pohon-pohon yang tak mampu move on selayaknya makhlukMu yang lain, Kau sediakan mereka rezeki untuk hidup. Ya Allah, sungguh semata-mata itu hanya ketakutanku saja, keterbatasan ilmuku, ketidamampuanku melihat kebesaranMu, dan kelemahan-kelemahanku di dlam roh kehidupanku.
Ya Allah, senda gurau ini tampak begitu serius. Senda gurau ini tampak begitu abadi. Senda gurau ini seolah merupakan jiwa dari tiap kehidupan. Kami belum mampu tersenyum bahkan tertawa atas tiap keputusanMu yang kami lihat di depan mata kami.
Ya Allah, ampuni kami atas semua kebodohan kami. Yang buruk atau baik di mata kami, belum tentu buruk atau baik di mataMu. Kami belum mampu menertawai diri kami dan ini semua.


BaitApat, Jogokaryan

300815/1233