Senin, 25 Agustus 2014

senyumnya menjawab semua

Aku berharap, pagi ini hendak berjumpa dengan mentari pagi, di tempat yang agak tinggi agar aku jelas menapaki tiap ronanya. Aku parkir sepeda motorku di halaman sebuah gedung tingkat berlantai-lantai (pokoknya berlantai2,,biar keliatan tinggi gitu). Lambaian dedaunan hijau kecoklatan menghiasi pelupuk mataku tatkala aku menatap lurus jalan yang ku lewati. Tak henti ku tarik nafas dalam-dalam menghirup habis kesegaran udara pagi.Dari tempat aku berdiri, ku tatap sekeliling ruang-ruang berisikan tetumbuhan hijau yang menemani bangunan tinggi berkonstruksi kelas wahid. Aku toleh ke kiri, hamparan rumput hijau dan dua buah gawang duduk manis dalam sepetak lapangan bola. Dalam sisi yang berlawanan, beberapa tiang penyangga gedung sebuah fakultas di sebuah universitas ternama kokoh tiada banding. Heran, sepagi ini, banyak orang hilir mudik di tempat ini. Biasanya tidak. Mereka rapi berbusana, dan telah merias diri nampaknya. Mungkin ada acara.Ku lenturkan otot-otot kakiku untuk ku bisa nyaman berlari. Beberapa hari yang lalu, hanya bisa terkapar di atas ranjang dengan balutan kain di lutut kiriku. Ototku tertarik saat bermain futsal. Niatku, agar pagi ini bisa kembali seperti sediakala sekaligus menghangatkan badan dalam pelukan mentari. Mendung, langit kelabu dan awan-awan murung.Dari sudut yang jauh, aku melihat dia berdiri. Ku picingkan mataku untuk memastikan, itu adalah benar dia. Bercelana hijau, berjaket kelabu; sama seperti awan-awan ini. Mataku liar untuk mencari jalan masuknya menuju ke tempat dia sekarang berada. Ku lambaikan tanganku untuk menyapanya tanpa suara dan menunjuk sebuah lubang kecil di bawahku, seolah bertanya apa ini jalan masuknya. Dia mengagguk.Anak-anak tangga telah merelakan tubuh-tubuhnya untuk ku injak-injak. Tak seperti ibunya yang hanya mau dielus saja. Ah, barangkali seperti ini pula wajah para tokoh bangsa ini. Mereka rela memberikan tubuh-tubuh rakyat kecil untuk diinjak-injak demi kesenangan mereka. Satu, dua, tiga, dan lelah aku menghitungnya. Entah berapa anak yang telah aku injak demi untuk sampai kepadanya. Biarkan saja. Aku tak pangling padanya, masih sama seperti beberapa bulan yang lalu meski selama itu pula, banyak cerita haru yang dia bagi. Kalau aku, mungkin telah menjadi kurus karenanya. Hanya saja, ku lihat ada sebiji jerawat segar di pipinya sebelah kanan. Hemm… masa lalu yang tertinggalkan bagiku.Baru kemarin dia tiba di Yogyakarta, jam 5 sore. Wajahnya masih letih, guratan peta-peta kota asalnya masih membekas di bawah matanya dan sekitar bibirnya. Bisa jadi ini efek dari absen mandi pagi ini. Bisa jadi. Matanya tak cerah. Lagi-lagi seperti pagi ini yang mendung. Bahkan mentari tak juga terlihat kehadirannya dari atas sini pada saat yang seharusnya nampak. Tetapi senyumnya masih lebar. Pertanda hatinya tengah bahagia. Baguslah, pikirku. Dia lepaskan headset-nya dan menyerahkan padaku untuk ku bisa mendengar lagu baru yang aku tuliskan. Beberapa waktu lalu, tatkala aku berada di Semin, aku susun lirik lagu itu dalam alunan musik ber-genre rock. Terinspirasi dari kejadian-kejadian yang ku dengar tentang saat yang dinanti untuk hadir; berprestasi. Dan jelas itu tak kan datang berulang kali. Sambil ku dengar lagu Ipang yang judulnya aku lupa: “Kalau saja aku masih punya kesempatan yang sama/atau semua yang pernah terjadi bisa terulang lagi/ tapi ternyata kesempatan yang ada/ hanya sekali…”Aku tak mengerti itu lagu apa jenisnya. Dia bilang, Jazz! Simpul senyumku hadir. Sambil ku pejamkan mata menikmati iramanya, aku berpikir, kok bisa jadi jazz ya? padahal aroma musiknya adalah rock. Mungkin aku yang belum mahir merangkai nuansa rock. Tetapi yang jelas, dia memoles tulisanku menjadi bernuansa jazz. Menarik!Mentari belum juga beranjak. Sembari itu, mulutku tak henti berkomat-kamit mengisi ruang-ruang telinga yang makin sesak kata-kata. Dia menguap. Aku?? Sebenarnya iya, tapi aku tahan.Kenangan-kenangan masa lalu tatkala duduk di bangku JunHigh dan SenHigh menyedapkan hati. Gelak tawa yang terkurung lesu dalam murungnya pagi, kini bebas. Sebebas burung-burung kecil yang hilir mudik beterbangan di atas rumput hijau lapangan sepak bola. Suka-suka mereka hendak kemana. Hingga sekumpulan awak drum band berbaris a la tentara mengadakan upacara: sigap dan disiplin. Berbaris berjajar tiga terbagi menjadi empat kelompok saling berhadapan membentuk segi empat. Warna-warni pakaiannya menghiasi dominasi hijau dalam mataku.Waktu menyeret ku dan dia dalam lamunan. Sejenak, ku hirup nafas panjang dan berucap selamat jalan, terimakasih telah temaniku pagi ini sambil menunggu mentari hadir menyapa bumi. Senyumnya menjawab semuanya.

BaitApat, Yogya
Sept 19th, 2010
pagi yang murung

0 komentar:

Posting Komentar