Masih khusuk aku memandang sebait kata-kata dari orang tak
aku kenal:
“Sepasang tangan yang mengajakmu berdiri kala
terjatuh lebih harus kau percayai daripada seribu pasang tangan yang
menyambutmu kala kau ada di puncak kesuksesan”
Lalu aku teringat pada orang tuaku, terutama ibuku. Dari latar
belakang keluarga ibuku, pendidikan bukanlah hal utama dalam hidup. Tak seorang
pun dari saudara ibu yang sempat mengenyam bangku kuliah. Semua dari mereka
hanyalah tamatan SMA atau sederajat. Begitu juga ibu. Selepas lulus SMK, ibu langsung
menikah dengan gurunya.
Berebda dengan keluarga bapakku. Pendidikan merupakan
kemewahan dalam hidup. Mereka memiliki filosofi bahwa pendidikanlah yang akan
mengangkat derajat hidup mereka. Maka, hampir seluruh keluarga besar bapakku
adalah seorang sarjana, minimal. Ada beberapa yang melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Termasuk aku.
Tampaknya memang benar apa yang dipahami oleh keluarga
bapakku. Pola pikir akan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang,
meskipun tidak selalu benar. Setiap perbincangan atau diskusi yang sedikit agak
serius, ibu selalu ketinggalan dari kami; bapak, aku, dan ketiga adikku. Bahkan
terkadang menjadi bahan sindiran sekeluarga. Entah apa yang ibu rasa; sedih
atau bangga, aku tak tahu. Yang jelas kami merasa puas bisa menyindir yang
lain.
Tetapi justru keluarga besar ibulah yang memiliki prinsip
hidup sederhana. Masalah yang muncul bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan
yang harmonis; tidak banyak perdebatan atau konflik berkepanjangan, saling
toleransi, dan saling tolong menolong. Prinsip ini yang aku rasakan selama ini
dan tertanam dalam batinku.
Sebaliknya dengan keluarga besar bapak. Benar-benar kontras.
Masalah sederhana bisa berlarut-larut tak terselesaikan. Semua punya sudut
pandangnya masing-masing tanpa ada yang mau mengalah. Prinsip kebersamaan
menguap di udara; yang tampak hanyalah keegoisan. Ketika satu jatuh, yang lain hanyalah sekedar menyapa dan kemudian entahlah ke mana.
Dari dua latar belakang itu, aku nyaman pada latar belakang
yang dipunyai ibu. Tidak hanya sekali aku berpetualang mencari hakikat hidup. Tidak
sekali aku gagal dan jatuh dalam perjuangan itu. Dan, tidak sekali pula uluran
tangan ibu mengajakku bangkit dari keterpurukan aku dapatkan. Tetapi tidak
pernah ibu bersedia aku munculkan sebagai hero
ketika kesuksesan menghampiriku; “Kamu yang sekolah, ya kamu yang berhak atas
keberhasilanmu. Ibu hanya mendukung saja.”
Ibu, aku benarbenar ingin meminjam mata batinmu untuk
melihat baktiku padamu.
Di matamu, apakah aku anak yang berbakti? Di matamu, hal apa
yang bisa membuatmu bangga? Di matamu, cita-cita apa yang ingin kau
perjuangankan?
Rasanya klasik memang tatkala aku ditanya siapa orang yang
paling dikagumi lalu aku menjawab: “ibu” tetapi aku tak bisa bohong dengan mencari
nama lain selain namamu.
Jika memang aku tak mampu meminjam mata batinmu ibu, maka izinkan
aku memuliakanmu dengan cara yang aku ketahui terbaik unutkmu; yang mungkin kadang
membuatmu tak berkenan. Tetapi sungguh, niatku adalah memuliakanmu.
Terimakasihku untuk ibu atas segalanya.
Jogokaryan, 021215/0911
0 komentar:
Posting Komentar