Rabu, 02 Desember 2015

Aku Benarbenar Ingin Meminjam Mata Batinmu


Masih khusuk aku memandang sebait kata-kata dari orang tak aku kenal:
Sepasang tangan yang mengajakmu berdiri kala terjatuh lebih harus kau percayai daripada seribu pasang tangan yang menyambutmu kala kau ada di puncak kesuksesan
Lalu aku teringat pada orang tuaku, terutama ibuku. Dari latar belakang keluarga ibuku, pendidikan bukanlah hal utama dalam hidup. Tak seorang pun dari saudara ibu yang sempat mengenyam bangku kuliah. Semua dari mereka hanyalah tamatan SMA atau sederajat. Begitu juga ibu. Selepas lulus SMK, ibu langsung menikah dengan gurunya.

Berebda dengan keluarga bapakku. Pendidikan merupakan kemewahan dalam hidup. Mereka memiliki filosofi bahwa pendidikanlah yang akan mengangkat derajat hidup mereka. Maka, hampir seluruh keluarga besar bapakku adalah seorang sarjana, minimal. Ada beberapa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Termasuk aku.

Tampaknya memang benar apa yang dipahami oleh keluarga bapakku. Pola pikir akan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang, meskipun tidak selalu benar. Setiap perbincangan atau diskusi yang sedikit agak serius, ibu selalu ketinggalan dari kami; bapak, aku, dan ketiga adikku. Bahkan terkadang menjadi bahan sindiran sekeluarga. Entah apa yang ibu rasa; sedih atau bangga, aku tak tahu. Yang jelas kami merasa puas bisa menyindir yang lain.

Tetapi justru keluarga besar ibulah yang memiliki prinsip hidup sederhana. Masalah yang muncul bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan yang harmonis; tidak banyak perdebatan atau konflik berkepanjangan, saling toleransi, dan saling tolong menolong. Prinsip ini yang aku rasakan selama ini dan tertanam dalam batinku.

Sebaliknya dengan keluarga besar bapak. Benar-benar kontras. Masalah sederhana bisa berlarut-larut tak terselesaikan. Semua punya sudut pandangnya masing-masing tanpa ada yang mau mengalah. Prinsip kebersamaan menguap di udara; yang tampak hanyalah keegoisan. Ketika satu jatuh, yang lain hanyalah sekedar menyapa dan kemudian entahlah ke mana.

Dari dua latar belakang itu, aku nyaman pada latar belakang yang dipunyai ibu. Tidak hanya sekali aku berpetualang mencari hakikat hidup. Tidak sekali aku gagal dan jatuh dalam perjuangan itu. Dan, tidak sekali pula uluran tangan ibu mengajakku bangkit dari keterpurukan aku dapatkan. Tetapi tidak pernah ibu bersedia aku munculkan sebagai hero ketika kesuksesan menghampiriku; “Kamu yang sekolah, ya kamu yang berhak atas keberhasilanmu. Ibu hanya mendukung saja.”

Ibu, aku benarbenar ingin meminjam mata batinmu untuk melihat baktiku padamu.
Di matamu, apakah aku anak yang berbakti? Di matamu, hal apa yang bisa membuatmu bangga? Di matamu, cita-cita apa yang ingin kau perjuangankan?

Rasanya klasik memang tatkala aku ditanya siapa orang yang paling dikagumi lalu aku menjawab: “ibu” tetapi aku tak bisa bohong dengan mencari nama lain selain namamu.
Jika memang aku tak mampu meminjam mata batinmu ibu, maka izinkan aku memuliakanmu dengan cara yang aku ketahui terbaik unutkmu; yang mungkin kadang membuatmu tak berkenan. Tetapi sungguh, niatku adalah memuliakanmu.
Terimakasihku untuk ibu atas segalanya.



Jogokaryan, 021215/0911

0 komentar:

Posting Komentar