Selasa, 01 Desember 2015

Hari Ini, Setahun Yang Lalu


Aku beranikan diri datang menjemputmu. Diiringi doa dan puja-puji kepada sang Pencipta, aku jabat tangan orang tuamu. Ku dengarkan dengan seksama tiap kata yang terucap dari mulutnya. Pelan namun dalam. Hingga tiba saatnya ia memberikan isyarat, aku menjawabnya dengan sekali hembusan nafas.

Aku tak merasakan apa pun. Seketika dadaku lapang. Batinku hening. Tatapan mataku seolah enggan menyapaku sendiri. Sekajap. Hingga sahutan serempak orang-orang di sekitarku mengucapkan kata yang sama. Syah! Alhamdulillah.

Menangis? Tidak.

Aku ingin kabarkan kepada anakku kelak bahwa aku tak menangis. Bapakku memang sedikit sendu. Tetapi tidak menangis. Aku lelaki.

Kemudian aku melihat mu datang dari belakang mengenakan pakaian syurga. Cantik. Mendekat kepadaku, merengkuh tanganku dan untuk pertama kalinya, kau cium penggung telapak tangan kananku. Sedikit aneh memang. Sekejap berlalu keanehan itu, gemerlap lampu kamera menodongku tiada henti. Harus bagaimana aku? Senyum sebisa mungkin. Dan hari penuh kepura-puraan itu dimulai untuk seharian itu.

Ya, kepura-puraan. Aku harus berperangai layaknya seorang pangeran yang harus senantiasa berpenampilan menarik dan ramah terhadap semua orang yang datang. Bagaimana tidak, 4 bahkan 5 jam ke depan aku harus menebar senyum lebar kepada setiap orang yang ada di sana. Berpose dengan gonta ganti orang hanya untuk mengabadikan momen yang terjadi seumur hidup sekali. Dan pose ku harus selalu sama: berdiri tegak di samping istriku kemudian menebar senyum.

Setelahnya, aku kompres kedua pipiku dengan air hangat. Pegal rasanya.
Tetapi hari itu itu adalah setahun yang lalu. Segenap kepura-puraan yang terjadi saat itu telah enyah rasanya. Aku tak lagi mengingat bagaimana rasanya. Tetapi yang aku ingat adalah tanggung jawabku sebagai seorang suami telah dimulai. Di tanganku lah masa depanku dan masa depannya. Terdengar angkuh. Tetapi tidak, karena itu telah digariskan.

Setahun bukan waktu yang lama untuk mengenalmu-mengenalku. Riak dan gemericik halang-rintang muncul silih berganti. Sempat aku tak rela dengan berbagai cap yang dilekatkan padaku setelah hari itu. Kenapa tak rela? Karena aku memiliki perhitunganku sendiri yang mereka tidak tahu tetapi mereka mencap ku hanya penilaian secara superfisial semata. Biarlah itu adanya. Karena memang seperti itulah yang pasti terjadi. Tidak hanya padaku, tetapi seluruh manusia yang hidup dalam masyarakat pasti akan mengalaminya. Dari poin inilah aku belajar untuk konsisten pada apa yang dicita-citakan. Bahwa kita takkan pernah bisa membuat semua orang di sekitar kita puas dengan pilihan yang kita ambil karena mereka bukan kita dan sebaliknya.

Setahun ini, hal yang paling membuatku tidak tahan adalah diammu. Lebih baik kau hardik aku dengan marahmu yang menggebu-gebu dari pada harus kau diamkan aku tanpa kata. Entah kau bangga dengan hal itu atau tidak tetapi yang pasti aku tak mau merana dalam kebersamaan kita.


Jogokaryan, 301115/1117

0 komentar:

Posting Komentar