Minggu, 29 November 2015

Siapa, Manusia, yang Tahu Kapan Kematian Akan Tiba …


Tak juga aku. Sore itu, segerombolan awan tampak ganas di ufuk barat. Gelap, tebal, dan menggelapkan. Cahaya tak mampu menembus pekat-hitamnya. Aku menatapnya lama dan dalam dari tempatku bersandar dalam lelah penantian. Sempat hampir tak bisa aku berkedip menatapnya. Aku hanya berpikir, hujan akan segera tiba. Hujan yang selalu aku rindu kehadirannya. Hujan yang selalu berkata jujur meski menyakitkan. Aku tetap suka, tetapi.

Smartphone ku berdering. Sebuah pesan dari salah satu mahasiswa yang aku ampu, mengingatkan aku pada sebuah janji. Ah, rasanya aku ingin segera memenuhi janji itu. Waktuku tinggal 40 menit lagi untuk tidak terlambat datang menemui dia di tempat yang telah kami sepakati.

Giliranku berbincang dengan seorang rektor, tiba. Beberapa menit berlangsung. Dan, selesai. Cepat memang.
Selepas itu, langsung aku bergegas mengambil motorku di parkiran kampus. Aku punya waktu 30 menit untuk sampai di kampus lain. Aku tancap gas motorku dalam-dalam. Bergegas. Di barat, langit makin menghitam. “Tuhan, tolong turunkan hujanMu ini setelah aku sampai di tempat tujuanku”, doaku. Di Ring Road selatan, rintik satu per satu mulai turun. Makin banyak dan banyak lagi. Sementara aku harus bergegas. Tak ada pilihan lain, aku harus menepi mengenakan mantolku.

Aku memakainya hanya dalam waktu kurang dari 2 menit. Aku kembali melaju. Bergegas. Hujan makin deras. Jalanan makin tak tampak jelas. Embun menutupi kaca helmku. Itu membuatku membukanya dan merelakan mataku terpapar langsung air hujan yang tajam. Lajuku agak melambat di tikungan pertama. Genangan air pun memperlambat laju motorku. Sampai pada tikungan berikutnya menuju kampus itu, aku sedikit lega. “Sebentar lagi aku sampai, semoga tidak terlambat”, pikirku.


Dan benarlah aku tidak terlambat!

Papan iklan yang berdiri di samping kiri jalan ketika hujan turun disertai angin kencang jatuh menimpaku dan motorku. Aku tersungkur ke jalanan. Motorku dalam sekejam mati. Tak tau bagaimana aku jatuh. Yang aku ingat pasti, setelah jatuh, aku langsung bisa berdiri mengambil motorku, yang anehnya tidak tertindih papan iklan itu. Aku sedikit merasakan sakit di bagian pantat. Mungkin jatuhku yang membuatnya sakit.

Sejenak kemudian, ku lihat pohon-pohon besar bertumbangan di depanku. Tepat di jalan yang hendak aku tuju. Tidak hanya satu, dua, atau tiga pohon, tetapi puluhan pohon yang tumbuh subur di kampus itu, tumbang menutupi jalanan. Seluruh badanku lemas.
Barulah aku sadar, Allah menyelamatkan aku dengan caraNya:

Aku datang tepat waktu kawan.

Jikalau aku datang lebih awal sepersekian detik saja, artinya papan iklan itu tidak akan jatuh menimpaku karena jatuh di belakangku dan aku tidak tahu. Kemudian aku tetap melaju dengan motorku, yang artinya, justru pohon-pohon besar yang bertumbangan itulah yang akan menyambut kedatanganku.apakah aku akan selamat??? Entahlah.

Jikalau aku datang terlambat sepersekian detik saja, artinya papan iklan itu tidak akan jatuh menimpaku karena jatuh di depanku dan pastilah aku akan menghindari papan iklan itu. Kemudian aku tetap melaju dengan motorku, yang artinya, justru pohon-pohon besar yang bertumbangan itulah yang akan menyambut kedatanganku.apakah aku akan selamat??? Entahlah.

Aku datang tepat waktu, kawan.

Rasanya kematian begitu dekat, saat itu. Dekat sekali. Bahkan karena begitu dekatnya, mata kita tak mampu melihatnya. Seperti jika kita melihat sebuah huruf saja dengan mata kita yang berjarak sepersekian millimeter, tentu kita tak akan bisa melihatnya. Seperti itulah kematian.

Segala sesuatu telah Allah rencanakan dengan indah. Syukurku, aku tidak mengumpat saat itu. Aku terselamatkan.


Jogokaryan, 291115/1101 (sehari setelah tanggal 28 Nov 15)

0 komentar:

Posting Komentar