Ini dini hari. Tetapi
tak lagi subuh.
Apakah dini hari
adalah saat dimana orang terbangun dari tidurnya dan melihat dunia?
Kalau iya, maka
ini adalah dini hari meski tak lagi subuh.
Kemudian teringat
aku pada sebuah epigram Plato, “Dunia ini hanyalah bayang-bayang.” (alamak…
kenapa harus epigram??). Harus aku akui, dunia ini begitu indah tampak oleh
mata. Kalau dunia seindah ini, yang dianggap hanyalah sebuah bayangan oleh
Plato, lalu wujud aslinya pastilah lebih indah. Tetapi tak pernah dengan ikhlas
kita memandang wujud aslinya karena yang kita lakukan hanyalah menunduk saja
melihat bayangan itu.
Seperti halnya
aku dan final masterku di UGM.
Ibarat sebuah
tim sepak bola yang mengikuti kompetisi bergengsi, laju penampilanku tak
mengecewakan. Kemenangan (status Cum Laude) hanya bisa diraih setelah menjajaki
laga final (ujian tesis). Istanbul, Mei 2005, AC Milan vs Liverpool, menari
dalam lintasan angkasa pikirku setelah ujian tesis 22 Mei 2015. Kemenangan 3-0
di babak pertama telah menerbangkan angan pemainnya untuk merengkuh trofi Liga
Champions. Tetapi tak lebih dari sepuluh menit di babak kedua, skor 3-3
memudarkan dan membuat gelisah para pemain, staf, dan fans AC Milan untuk
mengangkat si Kuping Besar. Hingga perpanjangan waktu berakhir, skor masih
tetap 3-3 sehingga harus dilanjutkan adu penalti untuk memastikan sang
pemenang. Liverpool lah yang berhasil memenangkan adu penalti tersebut dan
membawa pulang si Kuping Besar.
Aku seolah
menjadi bagian dari para pemain AC Milan yang saat itu berlaga di puncak
kompetisi. Menampilkan permainan luar biasa selama kompetisi hingga mampu
mencapai final, tetapi luluhlantah di partai puncak itu dalam waktu sekitar 10
menit. Performa kuliahku pun sudah luar biasa: menjaga kualitas pemahaman materi
yang diukur oleh IPK yang bagus, ditambah dengan kesibukan kerjaku yang tidak
bisa dibilang wajar untuk orang yang sedang melanjutkan studi, tetapi
luluhlantah di saat ujian tesis oleh seorang aktor yang sama sekali tidak aku
kenal dan entah memiliki pemikiran yang seperti apa terhadap tesisku. Status Cum
Laude ku melayang. Kerja keras dan seluruh hikmah selama masa studi terasa
tiada harganya.
Tesisku adalah tentang
bahasa Inggris sementara dia adalah doktor bahasa Jepang. Bukankah hal itu
seperti mengukur kedalaman suatu sumur dengan timbangan berat badan?
Kecewa? Pasti.
Tetapi kekecewaan
itu justru membuka mataku bahwa sebenarnya aku adalah seorang pengecut. Aku tak
tahu apakah orang tuaku yang mengajarkan demikian padaku ataukah orang lain
yang membisik di telingaku ataukah lingkungan ataukah ah entahlah.
Ya, sebagian
besar dari kita adalah pengecut, aku juga demikian. Ketika bodoh, menyalahkan
guru; ketika lingkungan kacau balau, menyalahkan-ejekan pemimpin; ketika tidak
bahagia, menyalahkan pasangan; ketika ditimpa musibah, menyalahkan Tuhan;
ketika miskin, menyalahkan orang kaya; ketika tak mampu berbuat apapun,
menyalahkan penguasa; bisa jadi ketika dulu kecil kita terjatuh, kita diajari
untuk menyalahkan sosok batu yang diam atau seekor katak yang tiada.
Sungguh tipu-tipu
ini terasa begitu lezat. Dengan menyalahkan, derajat diri ini seolah terangkat
di hadapan khalayak. Tetapi sungguh, itu hanyalah bayangan tiada makna. Sosoknya
tak pernah kita lihat tetapi mengagungkan bayangannya. Bukankah itu termasuk
dalam golongan orang bodoh yang sombong?
Mengejar bayang-bayang,
tak ubahnya mengejar hal kosong yang dibanggakan. Apa yang hendak dibanggakan? Bukankah
kekosongan adalah ketiadaan? Status hanyalah sandangan dan sandangan tidak bisa
mengukur kedalaman pikir seseorang. Cum Laude hanyalah status lulusan. Meski dulu
dua kali aku mengejarnya, dan gagal, kini aku sadar bahwa yang mengantarkan ku
pada levelku sekarang ini bukanlah status tersebut. Tetapi integritas yang
membawaku dan itu kudapatkan bukan dari kampus tempat ku menggali ilmu.
Dalam masaku
yang kedua ini, aku tertipu oleh bujuk rayu dunia, yang tak lain hanyalah
bayangan terang karena puja-puji orang yang ternyata itu tidak berumur panjang.
Jogokaryan, 250515/0804
0 komentar:
Posting Komentar