Menyisakan isak tangis seorang anak yang sedang bermain
bersama gerombolannya di bawah rintik hujan. Aku berjalan di tepian jalan
sambil menatap wajahnya dari kejauhan. Rintik tiada sudi berhenti. Anak itu
menangis sambil menggenggam penuh di telapak tangan kanannya tanah berlumpur.
Ku hentikan langkahku dan berdiri mematung di balik pagar
rumah tetangga: menyembunyikan diri. Aku mengintai mereka. Ku pikir: tak apalah
berhenti sejenak menikmati panggung kehidupan ini. Sebenarnya, aku dalam
perjalanan hendak membeli makan siang untuk istriku. Semoga nostalgia ini tidak
menjadikannya marah atau galau karena mungkin terlambat pulang.
Aku janji, hanya sejenak. Hanya sejenak.
Anak itu duduk sambil mengusap air matanya dengan tangan
kiri sementara yang kanan masih menggenggam erat tanah berlumpur. Sementara
itu, lawannya berdiri mematung sambil memasang kuda-kuda untuk melempar bulatan
tanah berlumpur juga dengan tangan kanannya. Mereka larut dalam sumpah serapah
yang tidak aku dengar jelas. Hanya sedikit sekali yang bisa aku tangkap dari
jarakku: “Lha wong koe sikik kok”. Ucapan itu yang berulang kali dilontarkan di
tengah isak tangisnya. Lawannya tidak diam bergitu saja, tampak mulutnya
bergerak-gerak pertanda mengucapkan sesuatu yang tidak aku dengar.dalam kondisi
semacam itu, jelas lawannya terlihat superior sekali. Persis seperti belasan
tahun silam dalam kondisi yang sama.
Sulit memang menjadi warga pendatang di daerah yang erat
sekali budaya kekeluargaannya. Aku semapt menjadi public enemy ketika salah seorang dari keluarga mereka atau saudara
mereka menjadi korban keisenganku. Dalam waktu sekejap, seluruh isi rumah yang
mengelilingi rumah orang tuaku mengetahui kejadian itu dan merespon dengan cara
yang sama.
Tidak hanya sekali aku menangis ketika bermain bersama
dengan kawan-kawanku. Sebenarnya aku mampu melawan tetapi aku tidak mau. Semua sesak
di dada muntah dalam tangisanku. Bukan tanpa alasan, mereka adalah gerombolan
keluarga yang tak mau salah satu anggota keluarganya tersakiti.
Hujan masih rintik perlahan ketika aku tertunduk lesu tak
berdaya di hadapan temanku. Aku didakwa bersalah karena permainan kelerengku
yang aduhai. Hampir di setiap kesempatan bermain, aku memenangkannya. Tampaknya
itu membuat gerombolan keluarga membuat rencana untuk mengalahkanku dengan cara
mereka. Ya, aku bisa bilang: curang. Mereka menghentikan laju kelerengku dengan
kaki mereka sehingga jatuh di dekat kelereng lawanku dan kemudian aku meminta
dispensasi sesuai aturan yang berlaku. Tetapi ditolak. Aku berontak. Tetapi percuma.
Sebutir kelereng mendarat tepat di pelupuk mata kiriku. Sakit. Kemudian aku
membalas. Yang aku dapat kemudian adalah pengeroyokan.
Aku merasa hina sekali saat itu. Hujan rintik ikut merasakannya.
Yang jelas sekali aku ingat dari kata-kata mereka adalah “Kamu orang pendatang
di sini, gak usah jadi sok jagoan”. Begitu kira-kira. Kemudian mereka
meninggalkanku. Hanya hujan yang makin menderas dan air mata yang menemaniku
sore itu.
Aku tak tahu pasti, anak itu pendatang atau bukan. Aku melanjutkan
perjalanan. Aku ingat istriku di rumah yang sedang menanti.
Jogokaryan, 059616/0319
0 komentar:
Posting Komentar