Jumat, 06 Mei 2016

Hujan Sore Hari


Menyisakan isak tangis seorang anak yang sedang bermain bersama gerombolannya di bawah rintik hujan. Aku berjalan di tepian jalan sambil menatap wajahnya dari kejauhan. Rintik tiada sudi berhenti. Anak itu menangis sambil menggenggam penuh di telapak tangan kanannya tanah berlumpur.

Ku hentikan langkahku dan berdiri mematung di balik pagar rumah tetangga: menyembunyikan diri. Aku mengintai mereka. Ku pikir: tak apalah berhenti sejenak menikmati panggung kehidupan ini. Sebenarnya, aku dalam perjalanan hendak membeli makan siang untuk istriku. Semoga nostalgia ini tidak menjadikannya marah atau galau karena mungkin terlambat pulang.


Aku janji, hanya sejenak. Hanya sejenak.

Anak itu duduk sambil mengusap air matanya dengan tangan kiri sementara yang kanan masih menggenggam erat tanah berlumpur. Sementara itu, lawannya berdiri mematung sambil memasang kuda-kuda untuk melempar bulatan tanah berlumpur juga dengan tangan kanannya. Mereka larut dalam sumpah serapah yang tidak aku dengar jelas. Hanya sedikit sekali yang bisa aku tangkap dari jarakku: “Lha wong koe sikik kok”. Ucapan itu yang berulang kali dilontarkan di tengah isak tangisnya. Lawannya tidak diam bergitu saja, tampak mulutnya bergerak-gerak pertanda mengucapkan sesuatu yang tidak aku dengar.dalam kondisi semacam itu, jelas lawannya terlihat superior sekali. Persis seperti belasan tahun silam dalam kondisi yang sama.

Sulit memang menjadi warga pendatang di daerah yang erat sekali budaya kekeluargaannya. Aku semapt menjadi public enemy ketika salah seorang dari keluarga mereka atau saudara mereka menjadi korban keisenganku. Dalam waktu sekejap, seluruh isi rumah yang mengelilingi rumah orang tuaku mengetahui kejadian itu dan merespon dengan cara yang sama.

Tidak hanya sekali aku menangis ketika bermain bersama dengan kawan-kawanku. Sebenarnya aku mampu melawan tetapi aku tidak mau. Semua sesak di dada muntah dalam tangisanku. Bukan tanpa alasan, mereka adalah gerombolan keluarga yang tak mau salah satu anggota keluarganya tersakiti.

Hujan masih rintik perlahan ketika aku tertunduk lesu tak berdaya di hadapan temanku. Aku didakwa bersalah karena permainan kelerengku yang aduhai. Hampir di setiap kesempatan bermain, aku memenangkannya. Tampaknya itu membuat gerombolan keluarga membuat rencana untuk mengalahkanku dengan cara mereka. Ya, aku bisa bilang: curang. Mereka menghentikan laju kelerengku dengan kaki mereka sehingga jatuh di dekat kelereng lawanku dan kemudian aku meminta dispensasi sesuai aturan yang berlaku. Tetapi ditolak. Aku berontak. Tetapi percuma. Sebutir kelereng mendarat tepat di pelupuk mata kiriku. Sakit. Kemudian aku membalas. Yang aku dapat kemudian adalah pengeroyokan.

Aku merasa hina sekali saat itu. Hujan rintik ikut merasakannya. Yang jelas sekali aku ingat dari kata-kata mereka adalah “Kamu orang pendatang di sini, gak usah jadi sok jagoan”. Begitu kira-kira. Kemudian mereka meninggalkanku. Hanya hujan yang makin menderas dan air mata yang menemaniku sore itu.

Aku tak tahu pasti, anak itu pendatang atau bukan. Aku melanjutkan perjalanan. Aku ingat istriku di rumah yang sedang menanti.



Jogokaryan, 059616/0319 

0 komentar:

Posting Komentar