Perdebatan para (yang ngakunya) ilmuwan tentang bentuk bumi
makin moncer akhir-akhir ini. Kaum cendekia yang percaya pada bentuk bumi datar
(flat earth) yang meredup mulai abad 19, kini moncer dan muncul kembali ke
permukaan. Dulu basis argumentasinya adalah eksperimen dan data-data yang
mereka percayai sebagai bukti eksistensi teori bumi datar. Kini mulai membawa
kaum relijius agar mengartikan beberapa ayat Al Quran secara harfiah bahwa bumi
datar berupa hamparan. Hamparan ditafsirkan sebagai tanah lapang dengan
permukaan yang datar (walau sedikit gronjal-gronjal).
Buatku, perdebatan itu hanyalah buih di atas lautan. Mempermasalahkan
hal yang sebenarnya sudah final sejak Aristoteles menyampaikannya di depan
khalayak bahwa bumi itu bulat (perkara bulat utuh, lonjong, atau benjol-benjol,
terserahlah!). Selain itu, Wallace juga sudah mematahkan teori bumi datar hasil
penelitian di sungai Bedford dengan hadiah yang menggiurkan. Lalu, apalagi yang
harus diperdebatkan.
Bagi saya, bumi tidaklah datar atau bulat. Tetapi bumi itu
kotak gaes!
Untuk hidup di bumi ini, aku belum pernah menjumpai nasi
datar atau nasi bulat menemuiku dikala aku lapar hanya sekedar untuk bertahan
hidup. Tetapi nasi kotaklah yang selalu muncul di hadapan saya. Maka bumi itu
kotak. Ditemani teh kotak dan alunan ngebit grup band Kotak, aku melanjutkan
hidup mengarungi kerasnya persaingan yang seringnya meng-kotak-kotak-an
manusia: borjuislah, kerelah, mlaratlah, bajinganlah, munafiklah, relijiuslah,
apalah lah-lah yang lain.
Kalau kau datang padau hanya untuk ceramah tentang bentuk
bumi, mending kau gali kuburmu sendiri dan hiduplah di dalamnya. Kau pun akan
tahu nantinya, bahwa bumi itu kotak, bro! belum pernah pula aku jumpai bentuk
kuburan yang datar atau bulat!
Nuwun
Sidikan, 2016