Selasa, 26 Januari 2016

Sabun Wangi


Meski sekarang telah menjadi kontraktor (maksudnya orang yang ngontrak rumah), jiwa anak kos masih melekat erat dalam lubuk hati terdalam dan lubang-lubang logika yang aku miliki. Untuk kalian yang pernah merasakan menjadi anak kos yang ditakdirkan memiliki kondisi ekonomi yang pas-pasan, pasti merasakan apa yang akan aku ceritakan tentang perabot mandi. Ya, selain memilih kos-kosan yang paling murah, perabot mandi merupakan bagian penting lain yang pasti diperhatikan, meski harus apa adanya.

Bagiku, seorang anak kos dengan ekonomi yang pas-pasan, mandi merupakan hal yang tidak harus dilakukan sehari dua kali. Secukupnya saja. Jika cukup sehari sekali, ya sekali saja. Jika cukup dua kali sehari, ya dua kali saja. Jika pas banyak-banyaknya, karena penyakit bujangan, ya secukupnya saja. Hal ini berdampak pada ketersediaan sabun, pasta gigi, dan shampoo.

Pada prinsipnya, penggunaan sabun, pasta gigi, dan shampoo didasarkan pada banyak atau sedikitnya buih yang tercipta agar bisa merata. Iklan-iklan sabun, pasta gigi, dan shampoo di televisi tidak berpengaruh secara signifikan untukku; yang mengandung vitamin E lah, yang wangi lah, yang cocok untuk gigi sensitive lah, yang memutihkan dan menjaga bau mulut lah, dan lah-lah yang lainnya. Aku tidak peduli.

Hal tersebut masih terbawa hingga saat ini di mana aku telah menikahi seorang gadis yang peduli pada penampilan fisik; juga masalah mandi. Setelah pulang dari sebuah market untuk membeli macam-macam kebutuhan, dia langsung mandi. Setelahnya, dia pamerkan bau wangi yang terpancar dari kulitnya berkat baluran sabun wangi yang baru saja dibelinya. Aku biasa saja. Buatku, hal tersebut layak saja sebagai seorang wanita yang peduli pada penampilan. Aku pun senang jadinya.

Tiba giliranku mandi.

Di dalam kamar mandi, sambil melihat sabun yang baru di pakai, aku berpikir: kalau aku saja bisa senang dengan aroma wangi yang ada, tentu dia pun akan senang bila aroma wangi itu terpancar dari badanku. Aku pun mencoba: aku guyur seluruh badanku dengan air, aku bersihkan semuanya, dan yang terakhir adalah pakai sabun wangi. Aku usapkan ke seluruh bagian badan dan kemudian aku keringkan sejenak. Pikirku, agar seluruh aroma wangi meresap dan mengendap ke dalam pori-pori kulit dan wanginya bisa semerbak ke mana-mana. Setelahnya, aku pamerkan kepadanya.

“hemm,,, iya wangi. Tumben wangi”, katanya.
“Iya dong”

Dasar nasib yang selalu sulit diprediksi, menjelang makan malam, kami menyiapkan segala hidangan yang kami punya. Sembari menyiapkan itu, dia nyenggol segelas air dan airnya menumpahi lengan kiriku.

“Haduh, maaf maaf. Tak bersihin ya”
“Ya ya ya, gak apa-apa”, kemudian dia mengusap lengan yang basah itu.
“Kok tanganmu licin begini? Dan berbusa begini?”
“Kan biasanya kamu suka yang licin dan berbusa”
“Heh, serius!!!”
“Tadi aku pakai sabun wangi. Dan begini jadinya. Cucok kan?”, dengan bangga aku mengucapkannya. “kamu juga begitu to?”
“gak”
“Berarti prosedurmu salah itu”
“Kalau ini pasti gak dibilas ya?? Hih!! Jangan-jangan seluruh bada juga ya?”
“Seperti itu kan prosedurnya!! Agar seluruh aroma wangi meresap dan mengendap ke dalam pori-pori kulit dan wanginya tahan lama!!”
“Haduuuuh… kok suamiku kayak begini ya!!!”, meronta-ronta, mengaung-ngaung.


Jogokaryan, 260116/0559


0 komentar:

Posting Komentar