Meski sekarang telah menjadi kontraktor (maksudnya orang
yang ngontrak rumah), jiwa anak kos masih melekat erat dalam lubuk hati
terdalam dan lubang-lubang logika yang aku miliki. Untuk kalian yang pernah
merasakan menjadi anak kos yang ditakdirkan memiliki kondisi ekonomi yang
pas-pasan, pasti merasakan apa yang akan aku ceritakan tentang perabot mandi. Ya,
selain memilih kos-kosan yang paling murah, perabot mandi merupakan bagian
penting lain yang pasti diperhatikan, meski harus apa adanya.
Bagiku, seorang anak kos dengan ekonomi yang pas-pasan, mandi
merupakan hal yang tidak harus dilakukan sehari dua kali. Secukupnya saja. Jika
cukup sehari sekali, ya sekali saja. Jika cukup dua kali sehari, ya dua kali
saja. Jika pas banyak-banyaknya, karena penyakit bujangan, ya secukupnya saja. Hal
ini berdampak pada ketersediaan sabun, pasta gigi, dan shampoo.
Pada prinsipnya, penggunaan sabun, pasta gigi, dan shampoo didasarkan
pada banyak atau sedikitnya buih yang tercipta agar bisa merata. Iklan-iklan
sabun, pasta gigi, dan shampoo di televisi tidak berpengaruh secara signifikan
untukku; yang mengandung vitamin E lah, yang wangi lah, yang cocok untuk gigi sensitive
lah, yang memutihkan dan menjaga bau mulut lah, dan lah-lah yang lainnya. Aku tidak
peduli.
Hal tersebut masih terbawa hingga saat ini di mana aku telah
menikahi seorang gadis yang peduli pada penampilan fisik; juga masalah mandi. Setelah
pulang dari sebuah market untuk membeli macam-macam kebutuhan, dia langsung
mandi. Setelahnya, dia pamerkan bau wangi yang terpancar dari kulitnya berkat
baluran sabun wangi yang baru saja dibelinya. Aku biasa saja. Buatku, hal tersebut
layak saja sebagai seorang wanita yang peduli pada penampilan. Aku pun senang
jadinya.
Tiba giliranku mandi.
Di dalam kamar mandi, sambil melihat sabun yang baru di
pakai, aku berpikir: kalau aku saja bisa senang dengan aroma wangi yang ada,
tentu dia pun akan senang bila aroma wangi itu terpancar dari badanku. Aku pun
mencoba: aku guyur seluruh badanku dengan air, aku bersihkan semuanya, dan yang
terakhir adalah pakai sabun wangi. Aku usapkan ke seluruh bagian badan dan
kemudian aku keringkan sejenak. Pikirku, agar seluruh aroma wangi meresap dan
mengendap ke dalam pori-pori kulit dan wanginya bisa semerbak ke mana-mana. Setelahnya,
aku pamerkan kepadanya.
“hemm,,, iya wangi. Tumben wangi”, katanya.
“Iya dong”
Dasar nasib yang selalu sulit diprediksi, menjelang makan
malam, kami menyiapkan segala hidangan yang kami punya. Sembari menyiapkan itu,
dia nyenggol segelas air dan airnya menumpahi lengan kiriku.
“Haduh, maaf maaf. Tak bersihin ya”
“Ya ya ya, gak apa-apa”, kemudian dia mengusap lengan yang
basah itu.
“Kok tanganmu licin begini? Dan berbusa begini?”
“Kan biasanya kamu suka yang licin dan berbusa”
“Heh, serius!!!”
“Tadi aku pakai sabun wangi. Dan begini jadinya. Cucok kan?”,
dengan bangga aku mengucapkannya. “kamu juga begitu to?”
“gak”
“Berarti prosedurmu salah itu”
“Kalau ini pasti gak dibilas ya?? Hih!! Jangan-jangan
seluruh bada juga ya?”
“Seperti itu kan prosedurnya!! Agar seluruh aroma wangi
meresap dan mengendap ke dalam pori-pori kulit dan wanginya tahan lama!!”
“Haduuuuh… kok suamiku kayak begini ya!!!”, meronta-ronta, mengaung-ngaung.
Jogokaryan, 260116/0559
0 komentar:
Posting Komentar